irigasi pada masa politik Etis

Posted by Unknown On Minggu, 18 November 2012 0 komentar
Sejak tahun 1883-1898 telah dibuat bangunan-bangunan produktif sepertijalan kereta api sebesar f. 231juta, pelabuhan f. 61 juta danpengairan f. 49 juta. Sebagian besar dari pembiayaan dapat ditutup dengan pajak-pajak terutama dari perusahaan dan perkebunan dandengan pinjaman-pinjaman baru. Sejak tahun 1912 Hindia Belanda sebagai badan hukum dapat menggandakan pinjamannya sendiri.

Sangat vital bagi pertanian ialah pengairan. Dan daripihak pemerintahtelah dibangun secara besar-besaran sejak tahun 1885 bangunan-bangunan irigasi di Brantas dan Demak seluas 96.000, pada tahun 1902 menjadi 173.000 bau. Menurut rencana tahun 1890 akan dbangun irigasi seluas 427.000 bau selama 10 tahun, akan tetapi pada tahun 1914 hanya terlaksana 93.000 bau. Untuk membebaskan rakyat dari cengkraman lintah darat atau riba, maka didirikanlah bank-bank perkreditan yang diketuai ole pembesar pemerintah setempat, keanggotaan pengurus dipegang oleh pegawai-pegawai negeri. Modal hendak diusahakan darideposito dan simpanan-simpanan.

Dari sisa-sisa tanam paksa, tanaman kopilah yang masih dipertahankan dibeberapa tempat. Dalam penanaman tebu banyak terjadi tekanan-tekanan dari kepala daerah untukpenyewaan tanah, pengerahan tenaga kerja sedangkan dalam pembagian air kebun-kebun tebu didahulukan.

Pembangunan irigasi, baik sarana dan prasarananya sebagai instrumen kebijakan publik diperkenalkan pertama kali oleh pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad 19. Terdapat beberapa alasan pemerintah Hindia Belanda menjadikan Irigasi sebagai instrumen dasar kebijakan. Pertama, irigasi dianggap efektif dalam memecahkan persoalan kelaparan yang terjadi hampir sepanjang tahun akibat gagal panen di beberapa wilayah, terutama di Jawa Tengah. Kedua, irigasi sebagai instrumen kebijakan publik berkaitan dengan kebijakan politik etis yang “semangatnya” adalah mensejahterakan kehidupan penduduk pribumi melalui 3 programnya.



Pembanguna irigasi dan masalah kelaparan

Untuk mengatasi masalah kelaparan di Jawa, pemerintah Hindia Belanda mengambil inisiatif membangun jaringan irigasi di Sidoarjo dengan memanfaatkan sungai Brantas tahun 1848. Model jaringan irigasi di Sidoarjo ini kemudian diterapkan di Demak dan Grobogan pada tahun 1870.

Bangunan irigasi Demak, karena dilengkapi dengan saluran irigasi dan saluran drainase dapat melayani daerah seluas 33.800 ha, sehingga kelaparan akibat kegagalan panen tidak lagi mengganggu penduduk di daerah yang bersangkutan. Sebenarnya, sistem irigasi Eropa yang telah dibangun di Buitenzork(bogor) pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van Imhoff. Bangunan irigasi ini masih menerapkan teknik-teknik tradisonal yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh penduduk pribumi. Namun usaha ini masih bersifat sangat terbatas dan pada umumnya petani masih mengutamakan air hujan sebagai pengairannya. Dalam perkembangannya pembangunan bendungan di Lengkong dan Sungai Brantas dengan cakupan 40.000 ha, misalnya selain didorong untuk mengatasi masalah pangan juga didorong oleh perluasan areal tanamn tebu. Demikian pula pembangunan irigasi di Banyumas, Pemali Camal di Pekalongan serta di Brebes tahun 1908. Pembangunan irigasi modern pertama kali di Hindia Belanda adalah pembangunan bendungan di Kali Tuntang pada tahun 1852.

Distribusi Air

Pola penanaman tebu yang mirip dengan tanaman pertanian menyebabkan seringnya terjadi benturan kepentingan antara sektor pertanian dan perkebunan, kususnya masalah penggunaan penggunaan air irigasi. Untuk mengatasi ini diperlukan suatu peraturan pembagian air, terutama pada saat musim kemarau. Saluran irigasi terbagi menjadi beberapa kategori, antara saluran primer, sekunder, tersier dan kwarter. Secara umum pembangunan saluran primer dan sekunder, sebagai saluran besar dibangun melalui kerja wajib dengan biaya ditanggung dengan pemerintah. Untuk saluran tersier oleh desa atau beberapa desa yang berkepentingan, sedangkan saluran kwater dibuat oleh masing-masing pemilik sawah yang akan menggunakan saluran tersebut. Saluran primer adalah saluran pertama yang menghubungkan langsung dengan sungai atau sumber lain yang diambil airnya untuk pengairan. Dari pengairan primer air dialirkan ke dalam saluran-saluran sekunder melalui pintu-pintu pengatur yang menghubungkan kedua saluran tersebut. Areal sawah yang mendapatkan pengairan melewati saluran ini dinamakan daerah sekunder (daerah cabang). Setelah air mengalir melalui saluran sekunder, selanjutnya air disalurkan ke beberapa saluran tertier. Dari saluran tertier air dialirkan menuju area persawahan yang akan diairi yang dinamakan daerah tertier (daerah ranting). Pengambilan air untuk petak-petak sawah melewati anak saluran tertier dinamakan sebagai saluran kwarter. Tidak ada batas-batas khusus yang memisahkan antara daerah irigasi primer, sekunder dan tertier. Batas-batas sekunder biasanya berupa anak sungai, saluran pembuangan air, jalan kereta api atau jalan-jalan desa. Luas setiap daerah perairan tidak selalu sama. Ini ditentukan oleh keadaan dan bentuk dari daerah masing-masing.


Untuk melaksanakan pembagian air diangkat petugas-petugas pengairan yang tergabung dalam jawatan pengairan. Mereka bertugas mengatur pembagian air irigasi sesuai denganhak-hak dari berbagai kelompok yang berkepentingan. Termasuk dalam kewenangan mereka adalah memberikan pengairan kepada perkebunan-perkebunan tebu, sedangkan kepada masyarakat terbatas pada pemberian air dalam daerah tertier. Supaya pembagian air dapat dilakukan dengan tepat sesuai waktu dan kebutuhan tanaman, diperlukan kerja sama dan Kamituwa untuk menentukan masa penanaman benih. Urusan pengairan sesudah memasuki daerah tertier dikerjakan dan dibebankan oleh kepala desa yang berkepentingan. Daerah rating inibiasanya terdiri daribeberapa desa. Sebelum lahirnya peraturan pembagian air, pembagian di daerah ranting dilakukan oleh semacam panitia yang terdiri dari wakil-wakil desa yang berada di daerah perairan tersebut di bawah pengawasan jawatan irigasi. Karena para wakil desa hanya mementingkan desa masing-masing sering menimbulkan persengketaan.

Pada permulaan abad XX diberlakukan aturan “siang malam” untuk menyelesaikan masalah pembagian air. Aturan ini berlaku di Jawa. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa air pada siang hari digunakan untuk mengairi tanaman tebu, dan hanya pada malam hari digunakan untukkepentingan tanaman palawija dan padi yang diusahakan oleh penduduk pribumi. Tanaman tebu mendapatkan air selama 10 jam mulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 4 sore. Setelah itu air baru diberikan kepada petani. Peraturan demikian jelas merugikan petani, karena mereka yang terpakasa mencari air dalam jarak yang jauh harus mengalami kesulitan-kesulitan yang lain, misalnya mereka harus keluar tiap malam untuk mencari air.kadang-kadang air belum sampai ke sawah pemiliknya telah dicuriorang lain. Selain itu sawah yang diairipada malam hari, pagi harinya kembali kering karena airnya menguap, sehingga penanaman sering tertunda.

Untuk mengatasi masalah tersebut, tanggal 17 dan 18 November 1903 para bupati mengadakan rapat dan meminta pada pemerintah agar diadakan pembagian air secara adil. Untuk itu dianggap perlu mengganti peraturan siang malam dengan sistem waduk. Pemberian air untuk tanaman tebu dan pertanian dapat dilaksanakan secara bersamaan pada waktu siang hari, tetapi untuk mencapai keseimbangan sesuai dengan kebutuhan air baik terhadap tanaman tebu maupun tanaman penduduk masih menjadi masalah yang sulit dipecahkan. Oleh karena itu, diterapkan cara pengaturan air yang dinilai lebih adil. Di beberapa daerah dilaksanakan sistem giliran harian (24 jam). Menurut aturan ini pembagian air dilakukan bergilir selama sehari semalam berturut-turut yang dimulai pada sore hari. Aturan ini ternyata dapat diterima oleh penduduk.




Politik Etis yang diprakarsai van de Venter, awalnya disambut baik oleh seluruh masyarakat karena kebijakan-kebijakannya dianggap mulai menunjukan sisi kemanusiawian. Namun pada pelaksanaannya, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Misalnya pada kebijakan irigasi, hanya sawah-sawah milik pemerintah Belanda yang dialiri air irigasi. Sawah-sawah penduduk pribumi, kian lama kian terbengkalai karena tidak mendapat pasokan air.


READ MORE

Zaman Renaisans dan Historiografi masa Abad Renaisans

Posted by Unknown On Rabu, 14 November 2012 0 komentar

Renaisans



Renaisans adalah sebuah gerakan budaya dan ilmiah yang menekankan penemuan kembali dan penerapan teks dan pemikiran dari zaman klasik, terjadi di Eropa c. 1400 - c. 1600. The Renaissance, sebuah gerakan yang menekankan ide-ide dari dunia klasik, telah digambarkan sebagai mengakhiri era abad pertengahan dan awal zaman modern.Penyebabnya banyak, semua sangat saling berhubungan dan sekarang perdebatan sejarawan kepentingan relatif dari masing-masing, serta ketika Renaissance benar-benar dimulai. Abad keempat belas pertengahan merupakan tanggal yang umum untuk memulai, meskipun beberapa komentator kembali lebih jauh. Selain Florence pernah diidentifikasi sebagai rumah awal Renaissance, tetapi beberapa sejarah memperluas ini ke Italia secara keseluruhan.


Masih ada perdebatan tentang apa sebenarnya merupakan Renaissance. Pada dasarnya, itu adalah sebuah gerakan budaya dan intelektual, erat dengan masyarakat dan politik, dari keempat belas terlambat untuk awal abad ketujuh belas, meskipun biasanya terbatas hanya abad kelima belas dan keenam belas. Hal ini dianggap berasal di Italia.Secara tradisional orang telah mengklaim itu dirangsang, sebagian, oleh Petrarch, yang memiliki gairah untuk menemukan kembali naskah yang hilang dan keyakinan sengit di kekuatan peradaban pemikiran kuno, dan sebagian oleh kondisi di Florence.

Pada intinya, Renaisans adalah sebuah gerakan yang didedikasikan untuk penemuan kembali dan penggunaan pembelajaran klasik, artinya pengetahuan dan sikap dari era Yunani dan Romawi Kuno. Renaissance harfiah berarti 'kelahiran kembali', dan pemikir Renaissance percaya periode antara mereka dan jatuhnya Roma, yang mereka berlabel Abad Pertengahan, telah melihat penurunan prestasi budaya dibandingkan dengan era sebelumnya. Peserta yang dimaksudkan, melalui studi teks-teks klasik, kritik tekstual dan teknik klasik, untuk kedua memperkenalkan kembali ketinggian hari-hari kuno dan memperbaiki situasi sezaman mereka.Beberapa teks-teks klasik bertahan hanya di kalangan ulama Islam dan dibawa kembali ke Eropa saat ini.

"Renaissance" juga dapat merujuk kepada periode, c. 1400 - c. 1600. "High Renaissance" umumnya mengacu c. 1.480 - c. 1520. Era itu dinamis, dengan penjelajah Eropa "menemukan" benua baru, transformasi metode perdagangan dan pola, penurunan feodalisme, perkembangan ilmiah seperti sistem Copernican dari kosmos dan munculnya mesiu. Banyak dari perubahan ini dipicu, sebagian, oleh Renaissance, seperti matematika klasik merangsang mekanisme perdagangan keuangan yang baru, atau teknik baru dari laut navigasi timur meningkatkan. Mesin cetak juga dikembangkan, memungkinkan Renaissance teks yang akan disebarkan secara luas.

Di seberang abad keempat belas, dan mungkin sebelumnya, struktur sosial dan politik lama dari periode abad pertengahan rusak, sehingga konsep-konsep baru untuk bangkit. Sebuah elit baru muncul, dengan model-model baru pemikiran dan ide-ide untuk membenarkan diri mereka sendiri, apa yang mereka temukan di zaman klasik adalah sesuatu yang bisa digunakan baik sebagai penyangga dan alat untuk membesarkan mereka. Keluar elit cocok mereka untuk mengikuti, seperti yang dilakukan Gereja Katolik. Italia, dari mana berevolusi Renaissance, adalah serangkaian kota negara, masing-masing bersaing dengan yang lain untuk kebanggaan warga, perdagangan dan kekayaan. Mereka sebagian besar otonom, dengan proporsi tinggi pedagang dan terima kasih kepada pengrajin rute perdagangan Mediterania.

Di bagian paling atas dari masyarakat Italia, para penguasa pengadilan utama di Italia adalah semua "orang baru", baru-baru ini dikonfirmasi dalam posisi kekuasaan mereka dan dengan kekayaan yang baru diperoleh, dan mereka sangat antusias untuk menunjukkan keduanya.Ada juga kekayaan dan keinginan untuk menunjukkannya di bawah mereka. The Black Death telah membunuh jutaan orang di Eropa dan meninggalkan korban dengan kekayaan proporsional lebih besar, baik melalui sedikit orang mewarisi lebih atau hanya dari kenaikan upah yang mereka bisa menuntut. Masyarakat Italia, dan hasil dari Black Death , diperbolehkan untuk mobilitas sosial yang jauh lebih besar, aliran konstan orang-orang tertarik untuk menunjukkan kekayaan mereka. Menampilkan kekayaan dan menggunakan budaya untuk memperkuat sosial dan politik merupakan aspek penting dari kehidupan di masa itu, dan ketika gerakan artistik dan ilmiah berbalik kembali ke dunia klasik pada awal abad kelima belas ada banyak pelanggan siap untuk mendukung mereka dalam ini berusaha untuk membuat poin politik.

Penyebaran Renaisans

Dari asal-usulnya di Italia, Renaissance tersebar di seluruh Eropa, ide-ide berubah dan berkembang sesuai dengan kondisi setempat, kadang-kadang menghubungkan ke booming budaya yang ada, meskipun masih menjaga inti yang sama. Perdagangan, perkawinan, diplomat, akademisi, penggunaan memberikan seniman untuk menjalin hubungan, bahkan invasi militer, semua dibantu sirkulasi. Sejarawan sekarang cenderung untuk memecah Renaissance turun menjadi lebih kecil,, kelompok geografis seperti Renaissance Italia, The Renaissance English, Renaissance Utara (gabungan dari beberapa negara) dll Ada juga karya-karya yang berbicara tentang Renaissance sebagai fenomena global yang dengan mencapai, mempengaruhi - dan dipengaruhi oleh - timur, Amerika dan Afrika.

Akhir dari Renaissance

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa Renaissance berakhir pada 1520-an, beberapa tahun 1620-an. Renaissance tidak hanya berhenti, namun ide intinya secara bertahap diubah menjadi bentuk lain, dan paradigma baru muncul, terutama selama revolusi ilmiah dari abad ketujuh belas.


Istilah 'kebangkitan' sebenarnya berasal dari abad kesembilan belas, dan telah sangat diperdebatkan sejak itu, dengan beberapa sejarawan mempertanyakan apakah itu bahkan kata berguna lagi. Awal sejarawan menggambarkan istirahat intelektual jelas dengan era abad pertengahan, tetapi dalam beberapa dekade terakhir telah berubah beasiswa untuk mengenali kelangsungan tumbuh dari abad sebelumnya, menunjukkan bahwa perubahan Eropa mengalami lebih merupakan evolusi dari revolusi. Era ini juga jauh dari zaman keemasan bagi semua orang, di awal itu sangat banyak gerakan minoritas humanis, elit dan seniman, meskipun disebarkan lebih luas dengan pencetakan. Wanita, khususnya, melihat pengurangan ditandai kesempatan pendidikan mereka selama Renaissance.


Aspek Renaissance: Seni

Ada Renaissance gerakan dalam arsitektur, sastra, puisi, drama, musik, logam, tekstil dan mebel, tapi Renaissance adalah mungkin paling dikenal karena seni. Kreatif usaha menjadi dipandang sebagai bentuk pengetahuan dan prestasi, bukan hanya cara dekorasi. Seni sekarang harus didasarkan pada pengamatan dari dunia nyata, menerapkan matematika dan optik untuk mencapai efek yang lebih maju seperti perspektif. Lukisan, patung dan lainnya bentuk seni berkembang sebagai bakat baru mengambil penciptaan karya, dan menikmati seni menjadi dilihat sebagai tanda individu berbudaya.

Aspek Renaissance: Renaissance Humanisme

Mungkin ungkapan paling awal dari Renaissance berada di Humanisme, pendekatan intelektual yang dikembangkan di antara mereka yang diajarkan bentuk baru dari kurikulum: humanitatis studia, yang menantang pemikiran Scholastic sebelumnya dominan. Humanis khawatir dengan fitur sifat manusia dan upaya oleh manusia untuk menguasai alam daripada mengembangkan kesalehan religius.
Pemikir humanis implisit dan eksplisit menantang pola pikir Kristen tua, yang memungkinkan dan memajukan model intelektual baru di belakang Renaissance. Namun, ketegangan antara humanisme dan Gereja Katolik yang dikembangkan selama periode, dan pembelajaran humanis sebagian disebabkan Reformasi. Humanisme juga sangat pragmatis, memberikan mereka yang terlibat dasar pendidikan untuk bekerja di birokrasi Eropa yang sedang berkembang. Penting untuk dicatat bahwa istilah 'humanis' adalah label kemudian, seperti "renaissance".

Aspek Renaissance: Politik dan Kebebasan

Renaissance digunakan untuk dianggap sebagai mendorong maju keinginan baru untuk kebebasan dan republikanisme - ditemukan kembali pada karya tentang republik Romawi - meskipun banyak negara kota Italia diambil alih oleh penguasa individu. Pandangan ini telah datang di bawah pengawasan dekat oleh para sejarawan dan sebagian ditolak, tapi itu menyebabkan beberapa pemikir Renaissance menghasut untuk kebebasan agama dan politik yang lebih besar selama bertahun-tahun kemudian. Lebih luas diterima adalah kembali ke berpikir tentang negara sebagai badan dengan kebutuhan dan persyaratan, mengambil politik jauh dari penerapan moral Kristen dan ke dunia, beberapa mungkin mengatakan licik, lebih pragmatis, seperti yang ditandai oleh karya Machiavelli.


Aspek Renaissance: Buku dan Belajar

Bagian dari perubahan yang dibawa oleh Renaissance, atau mungkin salah satu penyebab, adalah perubahan sikap untuk pra-Kristen buku. Petrarch, yang memiliki memproklamirkan diri "nafsu" untuk mencari buku lupa antara biara-biara dan perpustakaan Eropa, memberikan kontribusi terhadap pandangan baru: satu (sekuler) gairah dan rasa lapar akan pengetahuan. Ini menyebar sikap, meningkatkan pencarian karya yang hilang dan meningkatkan jumlah volume yang beredar, pada gilirannya mempengaruhi lebih banyak orang dengan ide-ide klasik. Salah satu hasil utama lainnya adalah perdagangan baru dalam naskah dan dasar perpustakaan umum untuk lebih memungkinkan studi luas. Mencetak kemudian diaktifkan ledakan dalam membaca dan penyebaran teks.

Historiografi pada masa Renaissance

Niccolo Machiavelli, termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan. Machiavelli lahir tahun 1469 di Florence, Italia. Ayahnya, seorang ahli hukum, tergolong anggota famili terkemuka, tetapi tidak begitu berada.


Selama masa hidup Machiavelli --pada saat puncak-puncaknya Renaissance Italia-- Italia terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa dalam masanya Italia lemah secara militer padahal brilian di segi kultur.

karya pokoknya yang terkenal adalah The Prince (Sang Pangeran), The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepada negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.

Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dia usul, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang."

Apa yang ditulis Machiavelli dalam The Prince adalah rangkaian preskripsi untuk penataan sebuah Negara dengan sukses melalui upaya untuk mendapatkan kekuasaan. Karena terpengaruh sepenuhnya oleh nilai dan sikap masanya, ia dengan tidak kenal malu meyakini bahwa kekuasaan itu baik dan bahwa kekuasaan harus dicari dan dinikmati, bersama dengan kemansyuran, reputasi dan kehormatan. Seperti dalam judulnya The Prince, secara tidak langsung, ia lebih mendukung monarki daripada republic
READ MORE

Raja, Priyayi, dan Kawula; Surakarta tahun 1900-1915

Posted by Unknown On Selasa, 13 November 2012 0 komentar
Raja, Priyayi, dan Kawula; 

Ada dualisme dalam birokrasi di Kasunanan Surakarta. Sebenarnya Belanda membawahi Kasunanan, namun Kasunanan tetap berkuasa atas perkara sipil dan sampai batas tertentu juga hokum. Karena Sunan memanggil Residen Surakarta dengan Bapa (Vader) dan Gubernut Jenderal Eyang (Groot Vader). Sebaliknya, sunan dianggkat oleh Pemerintah Hindia-Belanda sebagau perwira pribumi dengan pangkat jendral.

Adapun riwayat hidup PB X demikian. PB X dilahirkan pada hari Kamis Legi, 21 Rejeb Tahun Alip 1795, atau 29 november 1866. Menjadi putra mahkota pada umur tiga tahun, pada 4 oktober 1869, bergelar KGPA A nom, Amengkunegara Sudbya Rajaputra Narendra Mataram. Ia menjadi raja Surakarta Adiningrat pada hari kamis Wage, 12 Ramadhan tahun Je 1822 atau 30 Maret 1893. Mengangkat diri dari Sunan menjadi Susuhunan pada hari Kamis, 3 Janiari 1901. Ia meninggal pada 20 Fecruari 1939.


Sekalipun ia menjadi raja, berkuasa di Keraton dan di wilayahnya, tetapi ia bukan orang yang merdeka sepenuhnya. Surat-surat dari dan keluar harus lewat residen, meskipun itu hanya urusan keluarga. Van kol mengutip seorang pelancong Jerman pada 1902 yang mengatakan bahwa raja dipandang begitu tinggi oleh rakyatnya, namun ia tidak pernah menjadi orang bebas. Ia terikat semacam bentuk aturan sehingga untuk keluar dari kratonnya saja perlu ijin dari residen. Ia adalah tawanan di keratonnya sendiri. Tidak aneh, kalau kemudian ia mengembangkan lebih banmyak politik simbolis daripada politik substantive. Dengan kata lain, karena tidak bebas mengurus kerajaan, dia kemudian mengurus dirinya sendiri. Mengenai urusan kerajaan, ia hanya punya pikiran sederhana. Koran Darmo Konda melaporkan pertanyaan raja sangat sederhana pada patih. Ia bertanya pada Patih Sasradiningrat: sekarang musim apa? Bagaimana air sungai?

PB X waktu masih muda mempunyai “kumis yang bagus, mulut yang kecil, dan bibir yang berbentuk bagus. Pantas kalu serat Wedhamadya pada ulang tahunnya yang ke 33 mengumpamakan sebagai Kresna, titisan Dewa Wisnu, dewa ngejawantah. Namun, para pejabat Belanda di Surakarta mempunyai kesan negative tentang karakter pribadinya. Resident van Wijk mengatakan bahwa karakternya lemah. PB X mengesankan sebagai anak manja, karena ada kesalahan besar dalam pertumbuhannya, dia diangkat jadi putra mahkota dalam umur tiga tahun. Suka kepada pakaian kebesaran yang bagus, bintang penghargaan, perempuan dan makanan enak sampai badannya gemuk. Gemar minum alcohol dan merokok.

Raja mempunyai wewenang poada rakyat berdasa hubungan kawula-gusti. Raja adalah wewakiling Pangeran Kang Ageng (Wakil Tuhan Yang Maha Besar), tanda supranatural yang jumlahnya tiga, yaitu wahyu nurbuwah atau wahyu untuk menjadei raja yang meliputi seluruh jagat raya, yang kedua yaitu wahyu khukumah, raja semesta dan yang ketiga wahyu wilayah, menjadi wakil tuhan, menjadi teladan bagi semua para kawula. Wahyu tudak lagi utuh pada masa PB C. Raja tidak lagi berkuasa penuh, dia hanya administrator belanda untuk Surakarta. Hak untuk mengadili sudah dikurangi oleh reformasi pengadilan. Tidak lagi patut menjadi teladan, karena kelakuaannya tidak terpuji.

Ada dua hal menurut Residen Schneider yang membuat polisi residen di depan elite pribumi dan rakyat itu sulit, yaitu tradisi dan ideology panata gama. Ideologi panatagama kedua dapat menjelma menjadi nasionalisme dan Pan-Islamisme. Dengan kata lain mythico mythico-religious. Selain itu, PB X juga ahli dalam mengolah symbol-simbol intercultural, timur dan barat.

PB X adalah symbol tradisi Islam dan Jawa. Tradisi islam dipelihara. Setiap bulan Maulud, sunan akan memberikan hadiah pada orang Arab, Benggal, Koja, Banjar dam para haji berdzkir di masjid, tiap-tiap orang mendapat dua gulden. Bulan maulud juga ada sekaten dan tiap-tiap sekaten ada pasar malam di alun-alun, yang diikuti oleh segala bangsa. Tradisi Jawa dihidupkan. Mitos dipelihara, misalnya dengan upacara mengambil air untuk menanak nasi untuk grebeg mulud dari mata air Pengging, oleh para abdi dalem dengan berjalan kaki membawa 12 genthong sejauh 20 km.

Dalam psikonalisis ada dua cara melihat kepribadian seseorang, yaitu dengan melihat masa kecilnya dengan melihat pertumbuhannya. Freudianisme menekankan yang pertama, sedangkan Neo-Freudianisme menekankan yang kedua. Demikianlah, PB X sepatutnya dianalisis berdasarkan pertumbuhan psikosialnya. Dengan melihat masa kecilnya sebagai anak manja seperti dilaporkan oleh van Wijk kita tidak akan menemukan apa-apa, karena pasti saudara-saudaranya juga anak manja semacam itu. Jadi ridak ada yang patut dicurigai dengan masa kanak-kanaknya, meskipun dia sudah menjadi putera mahkita pada umur tiga tahun, juga pasti tidak ada persoalan dengan perkembangan seksualnya, karena bagi seorang raja Jawa seks itu tidak masalah, misalnya seks yang terpaksa ditekan, desembunyikan dan tidak kesampaian.

Priyayi: Abdi Dalem Raja dan Abdi Dalem Kerajaan

Pada tahun 1900-1915 di bawah pemerintahan PB X ada tiga jenis priyayi, yang pertama yaitu priyayi yang bekerja pada raja, priyayi yang bekerja untuk kerajaan (parentah ageng) dan priyayi terpelajar (bangsawan pikiran). Kedua maxam priyayi itulah yang disebut abdi dalem, karenanya pembicaraan mengenai priyayi dibawah ini selalu berarti kedua macam priyayi , kecuali kalau teksnya berkata lain.

Sebuah perkumpulan priyayi kerajaan, Abipraya, yang didirikan di Surakarta menjelang pergantian abad ini memberikan sebuah contoh mengenai bagaimana kehidupan priyayi dijalani awal abad kedua puluh. Para priyayilah yang pada waktu-waktu awal menyadari peran mereka sebagai pembawa kemajuan di dalam masyarakat Jawa. Siapa saja priyayi di Surakarta? Kita tidak memiliki informasi lengkap mengenai priyayi Surakarta, karena dokumen-dikumen yang pernah menerbitkan daftar priyayi setiap tahun yang mungkin memberikan informasi, yaitu Solosche Javaansche Akmanak yang mulai terbit pada tahun 1890-an, tetapi sampai kini belum detemukan diperpustakaan. Kita hanya bisa mengambil sumber-simber kedua, melalui pernyataan dan tulisan-tulisan. Mengutip sumber-sumber waktu itu, priyayi adalah pegawai pemerintah colonial dan abdi dalem Susuhunan. Apapun pekerjaannya, mereka yang mengabdi raja sudah barang adalah priyayi. Pada waktu itu priyayi merupakan kedudukan yang dicita-citakan.Sebelum mendapatkan status priyayinya, para putra abdi dalem yang akan meneruskan pekerjaan orang tuanya harus melewati beberapa tahapan. Tahapan itu dimulai dengan suwita (belajar) pada priyayi tinggi. Lalumagang (masa percobaan) dengan mengerjakan tugas-tugas sesuai profesi yang ingin ditekuni. Setelah itulah baru ia di-wisuda (pengukuhan) sebagai priyayi. Jenjang-jenjang ini menunjukkan kepada kita bahwa hubungan antara priyayi dan raja adalah hubungan patron-client.

Lebih jauh jenjang-jenjang ini juga menunjukkan bahwa dalam dunia kepriyayian pun ada stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial ini dijaga dan dilestarikan juga dalam simbol-simbol budaya. Simbol-simbol itu di antaranya adalah jumlah kewajiban sembah, pakaian, bahasa, dan tempat duduk kala beraudiensi dengan raja. Selain itu juga berkembang di kalangan priyayi tentang world view mereka yang secara ilmiah disebut political mysticism. Pandangan mistisme para priyayi ini berkaitan dengan panggilan jiwa mereka saat menjalankan amanah dari raja. Bagi para priyayi ini, kemuliaan karena berhasil menjalankan amanat raja adalah tujuan utama.

Kehidupan para kawula, terutama dari aspek budaya tandingan yang berkembang dalam komunitasnya. Mengapa budaya tandingan? Dalam pembahasan-pembahasannya perihal raja dan priyayi, terang sekali ditemukan banyak sekali korelasi di antara keduanya. Melalui hubungan patron-client yang terbangun antara keduanya, adalah hal mudah bagi kita membuat kesimpulan bahwa raja dan priyayi adalah kaum superior. Sementara dalam anggapan mereka, rakyat atau kawula adalah para penonton saja. Kehidupan rakyat adalah kehidupan tersendiri yang terpisah dari jangkauan korelasi raja-priyayi.
Kawula memiliki jarak sosial-budaya yang jauh dengan raja dan priyayi. Jika dikatakan politik simbol amat memengaruhi hubungan raja dan priyayi, maka hal itu tidak lagi berlaku pada kawula. Menurut Kuntowijoyo, simbol-simbol kekuasaan telah melemah setelah melewati jarak sosial yang jauh. Kawula memiliki dan mengembangkan budayanya sendiri yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai budaya tandingan itu. Kawula punya simbol-simbolnya sendiri. Di sini Kuntowijoyo mengetengahkan fenomena sumur ajaib dan beberapa fenomena supranatural yang hidup dikalangan rakyat kebanyakan.

Dengan jeli Kuntowijoyo menghimpun pemberitaan-pemberitaan perihal fenomena gaib dari media massa sezaman. Yang menarik adalah komentar beliau terhadap pemberitaan ini. Menurut Kuntowijoyo, apa yang diberitakan dalam media massa sezaman itu memang bukanlah fakta empiris yang punya kebenaran. Tetapi sejarawan mempunyai hak untuk mempercayainya bahwa para narasumber berita sungguh-sungguh menyatakan sesuatu yang mereka lihat. Jadi yang mereka nyatakan adalah sebuah peristiwa psikologis, bukan empiris, sehingga peristiwa itu tetap bisa dipandang memiliki makna historis. Peristiwa itu adalah alternatif dari simbol-simbol kekuasaan yang dominan kala itu.

Selain dalam aspek sosial-budaya, “perlawanan” kawula terhadap dominasi raja dan priyayi tampak pula dalam bidang pergerakan, bahkan selanjutnya memegang peranan penting. Jika para priyayi punya wadah Abipraya, maka para kawula punya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Meski kemudian BO berubah menjadi organisasi yang elitis, tapi BO awalnya tetaplah dipandang sebagi wujud resistensi kawula. Pada gilirannya, kawula-kawula yang punya pemikiran maju muncul kepermukaan sebagi seorang “bangsawan pikiran”. Organisasi-organisasi inilah alat mobilisasi mereka.

Andaikata PB X mengedepankan politik substantive dengan menekankan ekonomi dan kesejagteraan dan tidak mengedepankan politik simbolis yang hanya memperkuat kekuasaan nasib hubungan dengan penguasa colonial, priyayi, dan kawula akan lain. Tidak aka nada ramalan bahwa kerajaan suatu kali akan musnah. Seperti diketahui, kerajaan Surakarta benar-benar runtuh bersama Revolusi Indonesia

Resensi : Kuntowijoyo, 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula; Surakarta, 1900-1915. Yogyakarta; Ombak. Dengan Brata, Suparto, 2004. Gadis Tangsi, Jakarta; Penerbit Buku Kompas.

Priyayi dan kawula memandang raja sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan adanya wahyu sehingga raja mempunyai otoritas kuat dan dipercaya penuh oleh rakyat. Raja mempunyai wewenang pada rakyat berdasar hubungan kawula-Gusti Oleh karena itu, penjajah memerlukan otoritas kraton untuk berhubungan dengan rakyat. Kraton menjadi mediator hubungan antara pemerintah kolonial dengan rakyat. Pada hal-hal tertentu Pemerintah Kolonial sama sekali tidak mampu menghalangi hubungan emosional antara kawula dengan raja.

Ada dua hal menurut Residen Schneider yang membuat posisi residen di depan elite pribumi dan rakyat itu sulit, yaitu: tradisi dan ideologi panatagama Hubungan emosional ini menyebabkan pemerintah kolonial merasa perlu menguasai kraton. Buku Kuntowijoyo (2004) memuat data tentang bagaimana pemerintah kolonial menguasai dan mengkonstruksi kraton (Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwana X). Belanda membawahi Kasunanan, meskipun Kasunanan tetap berkuasa atas perkara sipil dan sampai batas tertentu juga hukum . Selain itu, pemerintah kolonial juga turut mencampuri urusan rumah tangga kraton. Lemahnya kekuasaan Sunan juga terlihat pada sikap Sunan yang tak pernah (tak mampu?) menerapkan etiket Jawa yang kaku untuk orang Eropa meski di dalam lingkungan keraton . Sementara simbol-simbol menegaskan kedudukan Sunan sebagai raja, yaitu sebagai pusat dunia di mana makrokosmos dan mikrokosmos bertemu, tetapi secara faktual dan kontekstual dia berada di bawah Pemerintah Hindia-Belanda .

Kekuasaan Pemerintah kolonial tidak hanya sebatas pada masalah administrasi, tetapi juga menyangkut sikap dan tingkah laku raja dan priyayi. Pada abad kedua puluh terdapat kamus Subasita karya Padmasusastra yang berisi mengenai perilaku-perilaku santun yang pantas dilakukan seorang priyayi Jawa. Dalam pengantar buku itu, penulisnya mengatakan bahwa etiket Jawa yang berlaku waktu itu harus disesuaikan dengan budaya dominan panguasa, Belanda! . Simbol orang yang berbudaya adalah orang yang mampu menyesuaikan diri dengan etiket Barat antara lain ditunjukkan oleh Padmasusastra yang progresif. Pada waktu itu orang Jawa (serta Cina) mulai memotong rambut panjang mereka seperti orang Belanda .
Data tersebut di atas menegaskan bahwa kekuasaan raja berikut tingkah laku, etiket dan kepribadian priyayi dan bangsawan kraton adalah semu. Mereka sebenarnya tidak mempunyai jati diri. Kekuasaan, gaya, dan sikap serta tingkah laku bangsawan kraton adalah kekuasaan, gaya, dan sikap serta tingkah laku Belanda. Apa yang dititahkan raja adalah apa yang dikatakan Belanda. Dengan demikian apa yang dipuja-puja kawula, apa yang diimpikan kawula adalah kekuasaan dan etiket hidup Belanda. Kawula yang merasa bodoh, rendah, dan kasar adalah hasil konstruksi dan wacana Belanda melalui kraton.

Panjabaran mengenai hubungan kawula ~ kraton dan kraton ~ Pemerintah Kolonial tersebut digunakan untuk melihat mentalitas kawula dalam novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata. Bagaimana ia melihat dirinya sendiri dalam hubungannya dengan para priyayi pribumi dan dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Pengarang seolah-olah menegaskan pandangan raja dan priyayi bahwa kawula adalah rendah, kasar, dan tidak terpelajar. Sebagai kawula, Teyi identik dengan umpatan kata-kata kasar, baik tatkala marah, kaget, maupun heran, misalnya: Trukbyangan (sebutan kasar alat kelamin wanita); Trukbyangane silit (sebutan kasar alat kelamin wanita dan dubur disebut sekaligus); Bajingan; Entutmu berut (kentut yang sangat bau); Ediiiaan, Trondolo kecut (nama hewan).

Dalam pengertian luas, umpatan dan makian Teyi tersebut menunjukkan bagaimana kehidupan di masyarakat bawah (kawula). Baik teman-teman sebaya maupun orang-orang tua sering mengucapkan kata-kata itu termasuk ibunya. Demikian halnya dengan teman-teman seusia Teyi. Meski demikian, sebenarnya Ibu Teyi, Raminem, melarang Teyi mengumpat. Cerita dalam novel ini terjadi pada ruang tempat tertentu. Ruang tempat terjadinya cerita ini adalah Surakarta dan Medan. Dalam lingkup yang lebih sempit, ruang tempat kejadiannya antara lain adalah tangsi militer Lorong Belawan, Kampung Landa, rumah loji, Kota Medan, toko, dan jalan-jalan.

Jarak antara Surakarta dan Medan secara geografis jauh bahkan berbeda pulau, yaitu Jawa dan Sumatera. Secara sosiologis kedua tempat itu mempunyai jarak budaya yang jauh pula yaitu Jawa dan Melayu. Namun, novel ini bercerita tentang penerapan kebudayaan Jawa (baca: kraton) di Medan meski hanya berlaku bagi orang Jawa yang berada di Medan. Hal itu menunjukkan bahwa kekuasaan kraton bagi orang Jawa tidak memandang tempat. Budaya kraton berlaku bagi semua orang Jawa di manapun mereka berada. Ninek Jidan, pembantu Putri Parasi yang ikut ke Medan, merasa bahagia ketika bertemu dengan Teyi. Bahasa Jawa yang dipergunakan Teyi membuat Ninek Jidan merasa bertemu dengan ‘orang’. Nenek itu tidak jadi marah.


Pendekatan dalam buku karangan Kuntowijoyo, 2004. Yang berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula; Surakarta, 1900-1915 yaitu menggunakan pendekatan psikologis , pendekatan antropologi, pendekatan sosiologi dan pendekatan sejarah mentalitas. Sejarah mentalitas adalah hasil penggabungan sosiologi,psikologi, dan sejarah. Atau, psikologi social dan sejarah. Sejarah mentalitas adalah sejarah kejiwaan suatu kelompok social. Menurut Michel Vovelle sejarah mentalitas menulis tentang keadaan, perilaku dan bawah sadar kolektif. Buktinya yaitu Dari pengamatan-pengamatan yang dilakukan Kuntowijoyo dengan pendekatan psikologisnya, diperoleh pula kesimpulan bahwa PB X memiliki Emotional Intelligent (EI) yang tinggi. PB X tahu benar akan potensi yang dimilikinya. Dengan diperkuat tradisi kraton yang ketat, PB X lihai memainkan perannya sebagai seorang raja dan beliau sukses. Dalam folklore Jawa dikatakan bahwa Susuhunan PB X adalah raja Jawa terbesar yang telah menghabiskan kemuliaan, kemuktian, dan kewibawaan untuk dirinya sendiri, sehingga bahkan tak tersisa sedikitpun untuk raja-raja sesudahnya. Secara umum PB X dengan sukses telah memainkan simbol personal (kewenangan, titel, pakaian, penghormatan, anugerah, dan hedonisme) dan simbol publik (tradisi, nasionalitas, religiusitas, dan interkultural), serta kepribadiannya yang menonjol untuk mempertahankan eksistensinya sebagai raja

Maksud penggunaan pendekatan mentalitas ini supaya bisa memberikan gambaran umum kepada generasi sejarawan sesudahnya tentang relevansi sejarah mentalitas sebagai suatu genre penulisan sejarah. Terutama dalam kemampuannya untuk memahami keadaan psiko-sosial masyarakat dan budaya. Hal inilah yang membuat tulisan sejarah menjadi tulisan yang hidup, tidak kering dan kaku.
READ MORE