irigasi pada masa politik Etis

Posted by Unknown On Minggu, 18 November 2012 0 komentar
Sejak tahun 1883-1898 telah dibuat bangunan-bangunan produktif sepertijalan kereta api sebesar f. 231juta, pelabuhan f. 61 juta danpengairan f. 49 juta. Sebagian besar dari pembiayaan dapat ditutup dengan pajak-pajak terutama dari perusahaan dan perkebunan dandengan pinjaman-pinjaman baru. Sejak tahun 1912 Hindia Belanda sebagai badan hukum dapat menggandakan pinjamannya sendiri.

Sangat vital bagi pertanian ialah pengairan. Dan daripihak pemerintahtelah dibangun secara besar-besaran sejak tahun 1885 bangunan-bangunan irigasi di Brantas dan Demak seluas 96.000, pada tahun 1902 menjadi 173.000 bau. Menurut rencana tahun 1890 akan dbangun irigasi seluas 427.000 bau selama 10 tahun, akan tetapi pada tahun 1914 hanya terlaksana 93.000 bau. Untuk membebaskan rakyat dari cengkraman lintah darat atau riba, maka didirikanlah bank-bank perkreditan yang diketuai ole pembesar pemerintah setempat, keanggotaan pengurus dipegang oleh pegawai-pegawai negeri. Modal hendak diusahakan darideposito dan simpanan-simpanan.

Dari sisa-sisa tanam paksa, tanaman kopilah yang masih dipertahankan dibeberapa tempat. Dalam penanaman tebu banyak terjadi tekanan-tekanan dari kepala daerah untukpenyewaan tanah, pengerahan tenaga kerja sedangkan dalam pembagian air kebun-kebun tebu didahulukan.

Pembangunan irigasi, baik sarana dan prasarananya sebagai instrumen kebijakan publik diperkenalkan pertama kali oleh pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad 19. Terdapat beberapa alasan pemerintah Hindia Belanda menjadikan Irigasi sebagai instrumen dasar kebijakan. Pertama, irigasi dianggap efektif dalam memecahkan persoalan kelaparan yang terjadi hampir sepanjang tahun akibat gagal panen di beberapa wilayah, terutama di Jawa Tengah. Kedua, irigasi sebagai instrumen kebijakan publik berkaitan dengan kebijakan politik etis yang “semangatnya” adalah mensejahterakan kehidupan penduduk pribumi melalui 3 programnya.



Pembanguna irigasi dan masalah kelaparan

Untuk mengatasi masalah kelaparan di Jawa, pemerintah Hindia Belanda mengambil inisiatif membangun jaringan irigasi di Sidoarjo dengan memanfaatkan sungai Brantas tahun 1848. Model jaringan irigasi di Sidoarjo ini kemudian diterapkan di Demak dan Grobogan pada tahun 1870.

Bangunan irigasi Demak, karena dilengkapi dengan saluran irigasi dan saluran drainase dapat melayani daerah seluas 33.800 ha, sehingga kelaparan akibat kegagalan panen tidak lagi mengganggu penduduk di daerah yang bersangkutan. Sebenarnya, sistem irigasi Eropa yang telah dibangun di Buitenzork(bogor) pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van Imhoff. Bangunan irigasi ini masih menerapkan teknik-teknik tradisonal yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh penduduk pribumi. Namun usaha ini masih bersifat sangat terbatas dan pada umumnya petani masih mengutamakan air hujan sebagai pengairannya. Dalam perkembangannya pembangunan bendungan di Lengkong dan Sungai Brantas dengan cakupan 40.000 ha, misalnya selain didorong untuk mengatasi masalah pangan juga didorong oleh perluasan areal tanamn tebu. Demikian pula pembangunan irigasi di Banyumas, Pemali Camal di Pekalongan serta di Brebes tahun 1908. Pembangunan irigasi modern pertama kali di Hindia Belanda adalah pembangunan bendungan di Kali Tuntang pada tahun 1852.

Distribusi Air

Pola penanaman tebu yang mirip dengan tanaman pertanian menyebabkan seringnya terjadi benturan kepentingan antara sektor pertanian dan perkebunan, kususnya masalah penggunaan penggunaan air irigasi. Untuk mengatasi ini diperlukan suatu peraturan pembagian air, terutama pada saat musim kemarau. Saluran irigasi terbagi menjadi beberapa kategori, antara saluran primer, sekunder, tersier dan kwarter. Secara umum pembangunan saluran primer dan sekunder, sebagai saluran besar dibangun melalui kerja wajib dengan biaya ditanggung dengan pemerintah. Untuk saluran tersier oleh desa atau beberapa desa yang berkepentingan, sedangkan saluran kwater dibuat oleh masing-masing pemilik sawah yang akan menggunakan saluran tersebut. Saluran primer adalah saluran pertama yang menghubungkan langsung dengan sungai atau sumber lain yang diambil airnya untuk pengairan. Dari pengairan primer air dialirkan ke dalam saluran-saluran sekunder melalui pintu-pintu pengatur yang menghubungkan kedua saluran tersebut. Areal sawah yang mendapatkan pengairan melewati saluran ini dinamakan daerah sekunder (daerah cabang). Setelah air mengalir melalui saluran sekunder, selanjutnya air disalurkan ke beberapa saluran tertier. Dari saluran tertier air dialirkan menuju area persawahan yang akan diairi yang dinamakan daerah tertier (daerah ranting). Pengambilan air untuk petak-petak sawah melewati anak saluran tertier dinamakan sebagai saluran kwarter. Tidak ada batas-batas khusus yang memisahkan antara daerah irigasi primer, sekunder dan tertier. Batas-batas sekunder biasanya berupa anak sungai, saluran pembuangan air, jalan kereta api atau jalan-jalan desa. Luas setiap daerah perairan tidak selalu sama. Ini ditentukan oleh keadaan dan bentuk dari daerah masing-masing.


Untuk melaksanakan pembagian air diangkat petugas-petugas pengairan yang tergabung dalam jawatan pengairan. Mereka bertugas mengatur pembagian air irigasi sesuai denganhak-hak dari berbagai kelompok yang berkepentingan. Termasuk dalam kewenangan mereka adalah memberikan pengairan kepada perkebunan-perkebunan tebu, sedangkan kepada masyarakat terbatas pada pemberian air dalam daerah tertier. Supaya pembagian air dapat dilakukan dengan tepat sesuai waktu dan kebutuhan tanaman, diperlukan kerja sama dan Kamituwa untuk menentukan masa penanaman benih. Urusan pengairan sesudah memasuki daerah tertier dikerjakan dan dibebankan oleh kepala desa yang berkepentingan. Daerah rating inibiasanya terdiri daribeberapa desa. Sebelum lahirnya peraturan pembagian air, pembagian di daerah ranting dilakukan oleh semacam panitia yang terdiri dari wakil-wakil desa yang berada di daerah perairan tersebut di bawah pengawasan jawatan irigasi. Karena para wakil desa hanya mementingkan desa masing-masing sering menimbulkan persengketaan.

Pada permulaan abad XX diberlakukan aturan “siang malam” untuk menyelesaikan masalah pembagian air. Aturan ini berlaku di Jawa. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa air pada siang hari digunakan untuk mengairi tanaman tebu, dan hanya pada malam hari digunakan untukkepentingan tanaman palawija dan padi yang diusahakan oleh penduduk pribumi. Tanaman tebu mendapatkan air selama 10 jam mulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 4 sore. Setelah itu air baru diberikan kepada petani. Peraturan demikian jelas merugikan petani, karena mereka yang terpakasa mencari air dalam jarak yang jauh harus mengalami kesulitan-kesulitan yang lain, misalnya mereka harus keluar tiap malam untuk mencari air.kadang-kadang air belum sampai ke sawah pemiliknya telah dicuriorang lain. Selain itu sawah yang diairipada malam hari, pagi harinya kembali kering karena airnya menguap, sehingga penanaman sering tertunda.

Untuk mengatasi masalah tersebut, tanggal 17 dan 18 November 1903 para bupati mengadakan rapat dan meminta pada pemerintah agar diadakan pembagian air secara adil. Untuk itu dianggap perlu mengganti peraturan siang malam dengan sistem waduk. Pemberian air untuk tanaman tebu dan pertanian dapat dilaksanakan secara bersamaan pada waktu siang hari, tetapi untuk mencapai keseimbangan sesuai dengan kebutuhan air baik terhadap tanaman tebu maupun tanaman penduduk masih menjadi masalah yang sulit dipecahkan. Oleh karena itu, diterapkan cara pengaturan air yang dinilai lebih adil. Di beberapa daerah dilaksanakan sistem giliran harian (24 jam). Menurut aturan ini pembagian air dilakukan bergilir selama sehari semalam berturut-turut yang dimulai pada sore hari. Aturan ini ternyata dapat diterima oleh penduduk.




Politik Etis yang diprakarsai van de Venter, awalnya disambut baik oleh seluruh masyarakat karena kebijakan-kebijakannya dianggap mulai menunjukan sisi kemanusiawian. Namun pada pelaksanaannya, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Misalnya pada kebijakan irigasi, hanya sawah-sawah milik pemerintah Belanda yang dialiri air irigasi. Sawah-sawah penduduk pribumi, kian lama kian terbengkalai karena tidak mendapat pasokan air.


0 komentar:

Posting Komentar

Kalau udah dibaca mohon sisipkan komentar ea :D
untuk kemajuan blog saya
terimakasih :D