Tradisi
pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa dan
Madura, yang dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi obyek penelitian para
sarjana yang mempelajari Islam di Indonesia, yaitu sejak Brumund menulis sebuah
buku tentang sistem pendidikan di Jawa pada tahun 1857. Dalam karya-karya lain
karya Prof. Sartono Kartodirdjo hanya menekankan aspek-aspek politik kehidupan
pesantren. Peranan kunci pesantren dalam penyebaran Islam dalam pemantapan
ketaatan masyarakat kepada Islam di Jawa telah dibahas oleh Dr. Soebardi dan
Prof. Johns, lembaga-lembaga pesantren
itulah yang paling menentukan watak ke-Islaman dari kerajaan-kerajaan Islam,
dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke
plosok-plosok. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal-usul manuskrip
tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas. Untuk
dapat betul-betul dapat memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus
mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga
inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di Indonesia.
- Pola Umum Pendidikan Islam Tradisional
Sebelum tahun
60-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan
nama pondok. Istilah pondok sendiri berasal dari kata Arab fundung, yang berarti hotel atau asrama. Prof. Johns berpendapat
bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji.
Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari istilah shastri
yang dalam bahasa India yang berarti orang yang tahu kitab-kitab agama Hindhu. Ciri-ciri pendidikan Islam Tradisional di
Jawa dan Madura yaitu:
- Seorang Jawa yang mengaku Islam biasanya diajar mengucapkan 2 kalimat syahadah, sebagai dasar keyakinan Islam.
- Selain 2 kalimat syahadat Islam menghendaki akan loyalitas bagi para pemeluknya lebih dari mengucapkan 2 kalimat syahadah, sebab selain itu mereka harus melakukan sembahyang lima waktu (Sholat Fardhu), berpuasa selama bulan Ramadhan, membayar zakat dan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya.
- Di dalam praktek, loyalitas kepada Islam itu dinyatakan dalam bentuk tingkah laku yang benar dan penerimaan norma-norma dan pola hidup secara Islam, dan loyalitas masyarakat Islam.
- Di Jawa, secara umum, tingkah laku yang benar secara Islam tersebut dinyatakan dalam contoh-contoh seperti yang dikerjakan oleh kyai (melalui lembaga-lembaga pesantren dan amalan-amalam beragama yang lain, seperti khutbah Jum’at) mengajarkan kepada anggota masyarakat tingkah laku ideal, pola pikiran dan perasaan yang ideal, simbol-simbol dan amalan Islam.
- Bagi orang-orang Jawa untuk dapat mengucapkan 2 kalimat syahadah, mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu dan membaca Qur’an diperlukan latihan dan pendidikan elementer yang secara tradisional diberikan dalam pengajian-pengajian yang diselenggarakan di rumah guru-guru ngaji di langgar, atau di masjid.
Dalam periode
sekarang sistem pengajian tersebut telah dilengkapi dengan bentuk sekolah
formal, yaitu madrasah. Madrasah di zaman kolonial di bayar oleh masyarakat
sendiri, sedangkan sekarang lembaga tersebut kebanyakan dibantu oleh
pemerintah. Perlu ditekankan di sini
bahwa semua lembaga-lembaga pengajian tidak sama jenisnya; dalam kenyataannya
lembaga tersebut sangat bertingkat-tingkat. Bentuk yang paling rendah adalah
bermula pada waktu anak-anak berumur kira-kira 5 tahun, menerima pelajaran dari
orang tuanya menghafal beberapa surat pendek dari juz Qur’an yang terakhir.
Setelah mereka berumur 7 atau 8 tahun mulai diajarkan membaca alfabet Arab dan
bertahap diajar untuk dapat membaca Qur’an.
Dalam
pembahasan setiap persoalan dalm buku-buku fiqih, biasanya digunakan model
sebagai berikut:
- Uraian-uraian pendapat para cerdik pandai, yang kebanyakan saling berbeda satu sama lain.
- Petunjuk kearah pandangan dari kebanyakan ulama (ijma’ atau qaul ‘ulama’).
- Pandangan-pandangan yang memungkinkan kita untuk memilih mana yang kita anggap paling baik (qaul tsani)
Menurut tradisi
pesantren, pengetahuan seseorang diukur oleh jumlah buku-buku yang pernah
dipelajarinya dan kepada ulama mana ia telah berguru. Jumlah buku-buku standar
dalam tulisan Arab yang dikarang oleh ulama terkenal yang harus dibaca yang
telah ditentukan oleh lembaga pesantren selain itu dikenal juga sistem
pemberian ijazah.
- Musafir
Pencari Ilmu
Dalam Islam,
seorang pencari ilmu dianggap sebagai musafir yang berhak menerima zakat
(beasiswa) dari orang-orang kaya. Jiga ia meninggal seketika ia dianggap mati
syahid. Orang yang memberikan beasiswa kepada musafir atau guru agama, dianggap
menyerahkan amal jariyah.Mereka yang memiliki pengetahuan, hanya akan
memperoleh manfaat dari pengetahuannya itu di akhirat nanti, bila ia mampu
mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Kalau tidak mau mengajarkan ilmunya
ilmunya itu tidak bermanfaat. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan sangat ditekankan Islam , dan sarjana islam menganggap dan
menerimanya sebagai kewajiban mereka tanpa mengharapkan imbalan.
Menurut Dr. Soebardi, tradisi yang berkembang
di lingkungan pesantren Jawa ini barangkali merupakan hasil akulturasi
kebudayaan antara dorongan orang Jawa untuk mencari hakikat kehidupan dan
kebijaksanaan, dan tradisi islam di mana berkelana mencari ilmu merupakan ciri
utama sistem pendidikan tradisional.
- Sistem Pengajaran
Pengajian dasar
di rumah-rumah, di langgar dan di masjid-masjid diberikan secara individual.
Seorang murid mendatangi seorang guru yang akan membacakan beberapa baris
Al-qur’an atau kitab-kitab bahasa Arab dan menerjemahkannya dalam bahasa Jawa.
Macam-macam
Sistem Pengajaran yang mungkin sering kita temui dalam tradisi pesantren; 1)
Sistem individual, sistem ini dalam pendidikan Islam tradisional disebut sistem
sorongan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah
menguasai pembacaan Al-qur’an, 2) Sitem bandongan/ weton, sistem ini sekelompok
murid yang mendengarkan guru, 3) Sistem halaqah, kelompok kelas dari sistem
bandongan. Dalam kelas musyawarah, sistem pengajarannya sangat berbeda dari
sistem sorongan dan bandongan. Para siswa harus mempelajari sendiri kitab-kitab
yang ditunjuk. Kyai memimpin kelas musyawarah seperti dalam suatu seminar dan
lebih banyak dalam bentuk tanya jawab.
- Latar Belakang Sejarah
- Sistem madrasah yang berkembang pada negara islam abad 12 tidak muncul di jawa sampai awal abad 20.
- Menurut karya sastra klasik seperti Serat Cabolek,
Serat Centini, dan lain-lain, abad 16 banyak pesantren di Jawa.
- Laporang pemerintahan Belanda tahun 1831, lembaga pendidikan Islam berjumlah 1.853 dan murid bejumlah 16.556 orang.
- Van den Berg pada tahun 1885 mencatat jumlah lembaga Islam tradisional sebanyak 14.929 di seluruh Jawa dan Madura (kecuali kesultanan Yogyakarta) dengan Jumlah murid ± 222.663 orang.
Table
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Tradisional dan Jumlah Murid di Beberapa
Kabupaten di Jawa Tahun 1831:
Kabupaten
|
Jumlah
Lembaga
|
Murid
|
Cirebon
|
190
|
2.763
|
Semarang
|
95
|
1.140
|
Kendal
|
60
|
928
|
Demak
|
7
|
519
|
Grobogan
|
18
|
365
|
Kedu
|
5
|
-
|
Surabaya dan Mojokerto
|
410
|
4.762
|
Gresik
|
238
|
2.603
|
Bawean
|
109
|
-
|
Sumenep
|
34
|
-
|
Pamekasan
|
97
|
-
|
Besuki
|
500
|
-
|
Jepara
|
90
|
3.476
|
Jumlah
|
1.835
|
16.556
|
Elemen – elemen
Sebuah Pesantren
Pondok, masjid,
santri, pengajaran kitab-kitab islam dan kyai merupakan elemen dasar dari
tradisi pesantren. Di jawa, orang biasanya membedakan pesantren menjadi 3
kelompok, yaitu Pesantren kecil, menengah, dan pesantren besar. Pesantren kecil
mempunyai santri dibawah seribu dan pengaruhnya sebatas kabupaten saja.
Pesantren menengah mempunyai santri antara 1000-2000 orang dan pengaruhnya
terdiri dari beberapa kabupaten. Dan yang terakir adalah Pesantren Besar yang
biasanya memiliki santri lebih dari 2000 orang dan pengaruhnya dari berbagai
kabupaten dan provinsi.
Lima elemen dasar dari tradisi pesantren
Pondok
Dalam dunia
pesantren Pondok yaitu sebuah asrama pendidikan islam dimana para siswa tinggal
bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang atau lebih gurunya yang dikenal
dengan sebutan “ Kyai “. Komplek pesantren biasanya dikelilingi oleh tembok
agar dapat mengawasi keluar masuknya para santri.
Ada 2 alasan utama dalam perubahan kepemilikan
pesantren yang dahulunya dimiliki oleh
kyai itu sendiri : Pertama, dulu pesantren tak perlu biaya besar
dalam semuanya karena sedikitnya santri dan alat bangunan. Kedua, baik
kyai maupun tenaga pendidiknya yang membantu merupaka bagian dari kelompok
pedesaan maka mereka membiayai sendiri kehidupanya dalam pesantren.
Pondok
bagi santri merupakan ciri khas
tradisional pesantren yang membedakan
sistem pendidikan tradisional di masjid dengan wilayah islam lain. Dan
biasanya disetiap pesantren ada Asramanya. Ada 3 alasan mengapa pesantren harus
menyediakan asrama bagi santrinya. Pertama, keasyuran seorang
kyai dan kedalaman pengetahuan tentang islam yang menarik santri jauh, Kedua,
hampir semua pesantren di desa tak ada perumahan yang cukup menampung
santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri dan
para santri menganggap kyai itu bapaknya.
Pentingnya
asrama bagi santri tergantung jumlah santri tersebut. Untuk pesantren kecil
santrinya tinggal di rumah penduduk dan pesantren besar santri tinggal bersama
dalam satu kamar ( 8 m persegi ) yang berisi 10-15 santri.
Dalam
pesantren besar pondok terdiri dari
beberapa blok yang terbagi ke dalam kelompok seksi, dan tiap seksi memiliki
santri antara 50-120 orang. Tiap seksi memiliki nama-nama yang diambil dari
alfabet.
Masjid
Masjid merupakan
elemen yang paling penting dalam pesantren untuk mendidik santri dalam praktek sembahyang, khutbah sembahyang
jum’at dan pengajaran kitab islam klasik.
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren merupakan cara sistem pendidikan islam tradisional yang
berkesinambungan dengan masjid Al Qubba pada masa Nabi Muhammad. Dan cara itu
sampai sekarang masih dilakukan.
Seorang
Kyai yang ingin mengembangkan pesantren biasanya mendirikan masjid didekat
rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai
bahwa ia mampu memerintah pesantren.
Pengajaran Kitab-Kitab Islam Klasik
Pada masa lalu
pengajaran kitab-kitab islam klasik
terutama penganut paham Syafi’iyah yang merupakan pelajaran formal yang
diberikan di pesantren. Hal ini mempunyai tujuan yaitu untuk mendidik calon
ulama. Para santri yang tinggal di pesantren dalam jangka pendek mempunyai
tujuan mencari pengalaman dalam perasaan keagamaan sedang yang tinggal
bertahun-tahun bertujuan untuk menguasai cabang-cabang pengetahuan islam.
Para
santri yang bercita-cita menjadi ulama mengembangkan keahlianya dalam bahasa
arab melalui sistem sorogan dalam pengajian sebelum mereka pergi ke pesantren
untuk mengikuti sistem bandongan.
Keseluruha
Kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren ada 8 golongan kelompok.
Diantaranya :nahwu (syntax) dan saraf (morfologi), fiqh, usul fight, hadis,
tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, cabang lain (tarikh dan balaghah).
Kitab-kitab
diatas meliputi teks yang sangat pendek dan teks yang terdiri dari
berjilid-jilid mengenai hadis, tafsir, fiqh, usul fiqh dan tasawuf. Kesemua
kitab itu digolongkan ke dalam 3 kelompok : kitab-kitab dasar, kitab-kitab
menengah dan kitab-kitab besar.
Sistem
pendidikan pesantren yang tradisional biasanya dianggap sangat statis dalam
menikuti sistem sorogan dan bandongan dalam menerjemahkan kitab-kitab klasik ke
bahasa jawa. Oleh karena itu peran kyai sangat diperlukan karena kyai harus
menguasai bahasa arab dalam melakukan hal ini.
Santri
Dalam dunia
pesantren terdapat 2 kelompok santri, yaitu:
1.
Santri mukim : murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap sebagai
santri dalam kelompok pesantren.
2. Santri kalong : murid-murid yang berasal dari
desa lingkungan pesantren dan tidak menetap dalam pesantren.
Ada
beberapa alasan santri menetap di pesantren :
1.
Ingin mempelajari kitab lain dan membahas islam lebih dalam
2. Ingin memperoleh hidup di pesantren dalam
beberapa hal
3.Ingin
memusatkan studinya di pesantren tanpa kesibukannya dirumah
Pesantren
yang kecil biasanya menyediakan tempat
pendidian yang bebas biaya kaena pesantren kecil tak perlu biaya banyakseangkan
yang besar sangat perlu.
Kyai
Kyai merupakan
elemen paling esensial dalam pesantren karena berkat dialah sebuah pesantren
itu di bangun. Sudahsewajarnya jika pertumbuhan sebuah pesantren bergantung
kepadanya.
Di
sini ahli pengetahuan islam di kalangan umat islam disebut Ulama. Di jawa barat
disebut ajengan dan di jawa tengah dan jawa timur disebut kyai. Namun pada
perkembanganya banyak ulama yag berpengaruh di masyarakat disebut kyai walaupin
mereka tak mempimpi peantren.
Para
kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren merupakan kerajaaan kecil dimana
kyai merupakan sumber yang mutlak dar kekuadaan dan kewenangan kehidupan
pesantren.
ijin copy gan
BalasHapus