Rabu, 15 Agustus 2012

CIRI-CIRI UMUM PESANTREN


Tradisi pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa dan Madura, yang dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi obyek penelitian para sarjana yang mempelajari Islam di Indonesia, yaitu sejak Brumund menulis sebuah buku tentang sistem pendidikan di Jawa pada tahun 1857. Dalam karya-karya lain karya Prof. Sartono Kartodirdjo hanya menekankan aspek-aspek politik kehidupan pesantren. Peranan kunci pesantren dalam penyebaran Islam dalam pemantapan ketaatan masyarakat kepada Islam di Jawa telah dibahas oleh Dr. Soebardi dan Prof. Johns,  lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak ke-Islaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke plosok-plosok. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal-usul manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas. Untuk dapat betul-betul dapat memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di Indonesia.

  1. Pola Umum Pendidikan Islam Tradisional
Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok sendiri berasal dari kata Arab fundung, yang berarti hotel atau asrama. Prof. Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India yang berarti orang yang tahu kitab-kitab agama Hindhu. Ciri-ciri pendidikan Islam Tradisional di Jawa dan Madura yaitu:
  • Seorang Jawa yang mengaku Islam biasanya diajar mengucapkan 2 kalimat syahadah, sebagai dasar keyakinan Islam.
  • Selain 2 kalimat syahadat Islam menghendaki akan loyalitas bagi para pemeluknya lebih dari mengucapkan 2 kalimat syahadah, sebab selain itu mereka harus melakukan sembahyang lima waktu (Sholat Fardhu), berpuasa selama bulan Ramadhan, membayar zakat dan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya.
  • Di dalam praktek, loyalitas kepada Islam itu dinyatakan dalam bentuk tingkah laku yang benar dan penerimaan norma-norma dan pola hidup secara Islam, dan loyalitas masyarakat Islam.
  • Di Jawa, secara umum, tingkah laku yang benar secara Islam tersebut dinyatakan dalam contoh-contoh seperti yang dikerjakan oleh kyai (melalui lembaga-lembaga pesantren dan amalan-amalam beragama yang lain, seperti khutbah Jum’at) mengajarkan kepada anggota masyarakat tingkah laku ideal, pola pikiran dan perasaan yang ideal, simbol-simbol dan amalan Islam.
  • Bagi orang-orang Jawa untuk dapat mengucapkan 2 kalimat syahadah, mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu dan membaca Qur’an diperlukan latihan dan pendidikan elementer yang secara tradisional diberikan dalam pengajian-pengajian yang diselenggarakan di rumah guru-guru ngaji di langgar, atau di masjid.
Dalam periode sekarang sistem pengajian tersebut telah dilengkapi dengan bentuk sekolah formal, yaitu madrasah. Madrasah di zaman kolonial di bayar oleh masyarakat sendiri, sedangkan sekarang lembaga tersebut kebanyakan dibantu oleh pemerintah.  Perlu ditekankan di sini bahwa semua lembaga-lembaga pengajian tidak sama jenisnya; dalam kenyataannya lembaga tersebut sangat bertingkat-tingkat. Bentuk yang paling rendah adalah bermula pada waktu anak-anak berumur kira-kira 5 tahun, menerima pelajaran dari orang tuanya menghafal beberapa surat pendek dari juz Qur’an yang terakhir. Setelah mereka berumur 7 atau 8 tahun mulai diajarkan membaca alfabet Arab dan bertahap diajar untuk dapat membaca Qur’an.
Dalam pembahasan setiap persoalan dalm buku-buku fiqih, biasanya digunakan model sebagai berikut:
  • Uraian-uraian pendapat para cerdik pandai, yang kebanyakan saling berbeda satu sama lain.
  • Petunjuk kearah pandangan dari kebanyakan ulama (ijma’ atau qaul ‘ulama’).
  • Pandangan-pandangan yang memungkinkan kita untuk memilih mana yang kita anggap paling baik (qaul tsani)
Menurut tradisi pesantren, pengetahuan seseorang diukur oleh jumlah buku-buku yang pernah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia telah berguru. Jumlah buku-buku standar dalam tulisan Arab yang dikarang oleh ulama terkenal yang harus dibaca yang telah ditentukan oleh lembaga pesantren selain itu dikenal juga sistem pemberian ijazah.

  1. Musafir Pencari Ilmu
Dalam Islam, seorang pencari ilmu dianggap sebagai musafir yang berhak menerima zakat (beasiswa) dari orang-orang kaya. Jiga ia meninggal seketika ia dianggap mati syahid. Orang yang memberikan beasiswa kepada musafir atau guru agama, dianggap menyerahkan amal jariyah.Mereka yang memiliki pengetahuan, hanya akan memperoleh manfaat dari pengetahuannya itu di akhirat nanti, bila ia mampu mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Kalau tidak mau mengajarkan ilmunya ilmunya itu tidak bermanfaat. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sangat ditekankan Islam , dan sarjana islam menganggap dan menerimanya sebagai kewajiban mereka tanpa mengharapkan imbalan.
Menurut Dr. Soebardi, tradisi yang berkembang di lingkungan pesantren Jawa ini barangkali merupakan hasil akulturasi kebudayaan antara dorongan orang Jawa untuk mencari hakikat kehidupan dan kebijaksanaan, dan tradisi islam di mana berkelana mencari ilmu merupakan ciri utama sistem pendidikan tradisional.

  1. Sistem Pengajaran
Pengajian dasar di rumah-rumah, di langgar dan di masjid-masjid diberikan secara individual. Seorang murid mendatangi seorang guru yang akan membacakan beberapa baris Al-qur’an atau kitab-kitab bahasa Arab dan menerjemahkannya dalam bahasa Jawa.
Macam-macam Sistem Pengajaran yang mungkin sering kita temui dalam tradisi pesantren; 1) Sistem individual, sistem ini dalam pendidikan Islam tradisional disebut sistem sorongan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-qur’an, 2) Sitem bandongan/ weton, sistem ini sekelompok murid yang mendengarkan guru, 3) Sistem halaqah, kelompok kelas dari sistem bandongan. Dalam kelas musyawarah, sistem pengajarannya sangat berbeda dari sistem sorongan dan bandongan. Para siswa harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kyai memimpin kelas musyawarah seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam bentuk tanya jawab.

  1. Latar Belakang Sejarah
  • Sistem madrasah yang berkembang pada negara islam abad 12 tidak muncul di jawa sampai awal abad 20.
  • Menurut karya sastra klasik seperti Serat Cabolek, Serat Centini, dan lain-lain, abad 16 banyak pesantren di Jawa.
  • Laporang pemerintahan Belanda tahun 1831, lembaga pendidikan Islam berjumlah 1.853 dan murid bejumlah 16.556 orang.
  • Van den Berg pada tahun 1885 mencatat jumlah lembaga Islam tradisional sebanyak 14.929 di seluruh Jawa dan Madura (kecuali kesultanan Yogyakarta) dengan Jumlah murid ± 222.663 orang.
Table Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Tradisional dan Jumlah Murid di Beberapa Kabupaten  di Jawa Tahun 1831:

Kabupaten
Jumlah Lembaga
Murid
Cirebon
190
2.763
Semarang
95
1.140
Kendal
60
928
Demak
7
519
Grobogan
18
365
Kedu
5
-
Surabaya dan Mojokerto
410
4.762
Gresik
238
2.603
Bawean
109
-
Sumenep
34
-
Pamekasan
97
-
Besuki
500
-
Jepara
90
3.476
Jumlah
1.835
16.556



Elemen – elemen Sebuah Pesantren

            Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab islam dan kyai merupakan elemen dasar dari tradisi pesantren. Di jawa, orang biasanya membedakan pesantren menjadi 3 kelompok, yaitu Pesantren kecil, menengah, dan pesantren besar. Pesantren kecil mempunyai santri dibawah seribu dan pengaruhnya sebatas kabupaten saja. Pesantren menengah mempunyai santri antara 1000-2000 orang dan pengaruhnya terdiri dari beberapa kabupaten. Dan yang terakir adalah Pesantren Besar yang biasanya memiliki santri lebih dari 2000 orang dan pengaruhnya dari berbagai kabupaten dan provinsi.

Lima elemen dasar dari tradisi pesantren

Pondok
Dalam dunia pesantren Pondok yaitu sebuah asrama pendidikan islam dimana para siswa tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang atau lebih gurunya yang dikenal dengan sebutan “ Kyai “. Komplek pesantren biasanya dikelilingi oleh tembok agar dapat mengawasi keluar masuknya para santri.
            Ada  2 alasan utama dalam perubahan kepemilikan pesantren  yang dahulunya dimiliki oleh kyai itu sendiri : Pertama, dulu pesantren tak perlu biaya besar dalam semuanya karena sedikitnya santri dan alat bangunan. Kedua, baik kyai maupun  tenaga pendidiknya  yang membantu merupaka bagian dari kelompok pedesaan maka mereka membiayai sendiri kehidupanya dalam pesantren.
            Pondok bagi  santri merupakan ciri khas tradisional pesantren yang membedakan  sistem pendidikan tradisional di masjid dengan wilayah islam lain. Dan biasanya disetiap pesantren ada Asramanya. Ada 3 alasan mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi santrinya. Pertama, keasyuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuan tentang islam yang menarik santri jauh, Kedua, hampir semua pesantren di desa tak ada perumahan yang cukup menampung santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri dan para santri menganggap kyai itu bapaknya.
            Pentingnya asrama bagi santri tergantung jumlah santri tersebut. Untuk pesantren kecil santrinya tinggal di rumah penduduk dan pesantren besar santri tinggal bersama dalam satu kamar ( 8 m persegi ) yang berisi 10-15 santri.
            Dalam pesantren besar  pondok terdiri dari beberapa blok yang terbagi ke dalam kelompok seksi, dan tiap seksi memiliki santri antara 50-120 orang. Tiap seksi memiliki nama-nama yang diambil dari alfabet.
Masjid
Masjid merupakan elemen yang paling penting dalam pesantren untuk mendidik  santri dalam praktek sembahyang, khutbah  sembahyang  jum’at dan pengajaran kitab islam klasik.
            Kedudukan  masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan cara sistem pendidikan islam tradisional yang berkesinambungan dengan masjid Al Qubba pada masa Nabi Muhammad. Dan cara itu sampai sekarang masih dilakukan.
            Seorang Kyai yang ingin mengembangkan pesantren biasanya mendirikan masjid didekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia mampu memerintah pesantren.


Pengajaran Kitab-Kitab Islam Klasik
Pada masa lalu pengajaran  kitab-kitab islam klasik terutama penganut paham Syafi’iyah yang merupakan pelajaran formal yang diberikan di pesantren. Hal ini mempunyai tujuan yaitu untuk mendidik calon ulama. Para santri yang tinggal di pesantren dalam jangka pendek mempunyai tujuan mencari pengalaman dalam perasaan keagamaan sedang yang tinggal bertahun-tahun bertujuan untuk menguasai cabang-cabang pengetahuan islam.
            Para santri yang bercita-cita menjadi ulama mengembangkan keahlianya dalam bahasa arab melalui sistem sorogan dalam pengajian sebelum mereka pergi ke pesantren untuk mengikuti sistem bandongan.
Keseluruha Kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren ada 8 golongan kelompok. Diantaranya :nahwu (syntax) dan saraf (morfologi), fiqh, usul fight, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, cabang lain (tarikh dan balaghah).
            Kitab-kitab diatas meliputi teks yang sangat pendek dan teks yang terdiri dari berjilid-jilid mengenai hadis, tafsir, fiqh, usul fiqh dan tasawuf. Kesemua kitab itu digolongkan ke dalam 3 kelompok : kitab-kitab dasar, kitab-kitab menengah dan kitab-kitab besar.
            Sistem pendidikan pesantren yang tradisional biasanya dianggap sangat statis dalam menikuti sistem sorogan dan bandongan dalam menerjemahkan kitab-kitab klasik ke bahasa jawa. Oleh karena itu peran kyai sangat diperlukan karena kyai harus menguasai bahasa arab dalam melakukan hal ini.

Santri
Dalam dunia pesantren terdapat 2 kelompok santri, yaitu:
            1. Santri mukim : murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap sebagai santri dalam kelompok pesantren.
            2.  Santri kalong : murid-murid yang berasal dari desa lingkungan pesantren dan tidak menetap dalam pesantren.
            Ada beberapa alasan santri menetap di pesantren :
            1. Ingin mempelajari kitab lain dan membahas islam lebih dalam
            2.  Ingin memperoleh hidup di pesantren dalam beberapa hal
            3.Ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa kesibukannya  dirumah
            Pesantren yang kecil biasanya  menyediakan tempat pendidian yang bebas biaya kaena pesantren kecil tak perlu biaya banyakseangkan yang besar sangat perlu.

Kyai
Kyai merupakan elemen paling esensial dalam pesantren karena berkat dialah sebuah pesantren itu di bangun. Sudahsewajarnya jika pertumbuhan sebuah pesantren bergantung kepadanya.
            Di sini ahli pengetahuan islam di kalangan umat islam disebut Ulama. Di jawa barat disebut ajengan dan di jawa tengah dan jawa timur disebut kyai. Namun pada perkembanganya banyak ulama yag berpengaruh di masyarakat disebut kyai walaupin mereka tak mempimpi peantren.
            Para kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren merupakan kerajaaan kecil dimana kyai merupakan sumber yang mutlak dar kekuadaan dan kewenangan kehidupan pesantren.


1 komentar:

Kalau udah dibaca mohon sisipkan komentar ea :D
untuk kemajuan blog saya
terimakasih :D