Dalam kehidupan tradisional orang Jawa hubungan antara
hamba dan tuan bukan bersifat tak pribadi, sebaliknya, hubungan ini lebih
merupakan ikatan pribadi dan akrab, saling hirmat dan bertanggung jawab.
Secara ideal hubungan ini menuruti contoh kasih sayang
dalam ikatan keluarga. Hal ini juga berlaku dalam hubungan sosial pada umumnya.
Sikap demikian terlihat dari kenyataan bahwa orang Jawa pada umumnya sering
menyapa orang asing dengan panggilan ki-sanak atau saderek yang berarti
kerabat.
Konsep kawula-gusti dalam pakaian mistiknya, jelas dapat
kita lihat betapa sudah benar-benar berakarnya arti hubungan tuan-hamba yang
akrab ini dalam pikiran orang-orang Jawa. Dalam mistik Jawa, kata-kata jumbuhing
kawula gusti (menyatunya hamba dan tuan) melukiskan tujuan tertinggi dalam
hidup manusia, yaitu tercapainya “kesatuan” yang sesungguhnya (manunggal)
dengan Tuhan. Konsep kawula-gusti
sangat diwarnai oleh ciri lain pemikiran Jawa: kepercayaan yang tak tergoyahkan
akan nasib, akan hal-hal yang sudah ditakdirkan, yang dinyatakan dalam kata pinesti
(ditentukan), tinitah (ditakdirkan), atau kata pinjaman dari bahasa
Arab, takdir.
Ada 2 lapisan utama pada masyarakat Jawa: wong cilik (orang
biasa) dan penggede (golongan penguasa), tidak terutama dari segi
kekayaan ekonomis atau keunggulan kelahiran tetapi dari segi pertuanan dan
perhambaan, dari segi kawula (hamba) terhadap bendara (tuan), dan
tempat seseorang dalam tatanan masyarakat, jadi hak serta kewajibannya, dianggap
sebagai telah ditakdirkan.
Contoh dari ketegaran takdir terdapat dalam pertunjukkan
wayang, yaitu dalam lakon Bratayuda, perang antara Pandawa dan Kurawa. Utusan
Pandawa, sri Betara Kresna, begitu marahnya oleh sikap Korawa yang
menghina sehingga dia menjelmakan diri
(menggunakan bentuk tiwi-krama nya) menjadi raksasa dahsyat yang
mempunyai 1000 kepala, tangan dan kaki. Dia mampu menghancurkan korawa dan
bahkan seluruh penduduk Ngastina pada saat itu juga, sekiranya Dewa surya,
utusan Suralaya, tidak memperingatkannya bahwa kehendak takdir yang harus
berlaku, bahwa perang Baratayuda yang mengerikan dan menghancurkan harus
terjadi dan bahwa kaum Korawa akan musnah dalam perang itu. Bahkan dalam hal
ini seorang dewa (Kresna adalah penjelmaan Dewa Wisnu) pun tidak diperkenankan
mengubah kehendak takdir.
Kedudukan Raja dalam Kehidupan Bernegara
Kedudukan Raja dan Islam
Dalam konsep orang Jawa tentang organisme negara, raja
atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos, negara. Bahwa pandangan tentang
alam yang terbagi dalam mikrokosmos –dunia manusia-dan makrokosmos-dunia
supra-manusia-adalah sesuatu yang pokok bagi pandangan hidup orang Jawa.
Ada 2 faktor yang terpenting bagi pemahaman orang Jawa
mengenai kehidupan negara :
1. adanya kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos
1. adanya kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos
2. adanya pengaruh timbal balik antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Kedua faktor ini menentukan bahwa ketertiban sosial
seyogyanya dianggap sebagai peraturan yang teliti dan ketat yang mengikuti
perubahan-perubahan musim yang sinambung tiada hentinya
Suatu perbandingan antara masa Jawa-Hindu dan masa
Mataram II dapat menerangkan konsep raja sebagai pusat mikrokosmos negara dan
puncak hierarki-status dalam negara. Karena mikrokosmos sejajar dengan
makrokosmos, raja Jawa-Hindu disamasesuaikan dengan dewa, biasanya Dewa Wisnu,
dan permaisurinya disamasesuaikan dengan cakti dewa.
Sesungguhnya ajaran Islam menolak penyamasesuaian yang demikian terang-terangan antara manusia dengan Tuhan. Teologi Islam menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung sebelumnya, yaitu kedudukan khalifatullah, wali Tuhan di dunia.
Sesungguhnya ajaran Islam menolak penyamasesuaian yang demikian terang-terangan antara manusia dengan Tuhan. Teologi Islam menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung sebelumnya, yaitu kedudukan khalifatullah, wali Tuhan di dunia.
Kedudukan raja dianggap sebagai pencerminan kedudukan
Tuhan. Tuhan disebut Sang Murbawisesa, Penguasa tertinggi. Raja
ditempatkan pada tampuk tata masyarakat, jauh diatas jangkauan orang biasa.
Tugas raja :
Dalam bidang politik, menjaga supaya jangan sampai terjadi gangguan-gangguan dan memulihkan ketertiban kalau seandainya sudah terjadi.
Raja yang Ideal : raja seyogyanya memiliki 8 nilai kebajikan :
1. Dana yang tidak terbatas, “kedermawanan”, sifat Batara Endra, kepala semua dewa bawahan
2. Kemampuan untuk menekan semua kejahatan, sifat dewa maut, Yama.
3. Berusaha membujuk dengan ramah dan tindakan yang bijaksana, sifat dewa matahari, Surya.
4. Kasih sayang, sifat Batara Candra
5. Pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam, sifat dewa angin : Bayu
6. Kedermawanan dalam memberikan harta benda dan hiburan, sifat dewa harta duniawi, Kuwera;
7. Kecerdasan yang tajam dan cemerlang dalam menghadapi kesulitan macam apapun, sifat dewa lautan, Baruna
8. Keberanian yang berkobar-kobar dan tekad yang bulat dalam melwan setiap musuh, sifat dewa api, Brama.
Sifat-sifat ini sesungguhnya merupakan pengertian yang
sangat realistis tentang masalah-masalah kebijaksanaan negara, yang meliputi
kasih hati yang pemurah maupun kekerasan yang tiada kenal ampun dan tidak
melupakan arti penting harta benda maupun daya kecerdasan, tetapi sifat-sifat
ini juga menekankan tuntutan luar biasa dan yang benar-benar melebihi kemampuan
manusia untuk menjadi tadan sebagai raja – hal yang sepenuhnya disadari orang
Jawa sebagai hal yang tidak mungkin. Syarat lain yang pokok bagi seorang raja
ideal ialah kemampuannya untuk memilih pegawai-pegawainya; peraturan-peraturan
untuk itu dikemukakan dalam banyak karangan. Keseimbangan badaniah dan perangai
fisik merupakan unsur penting dalam menentukan pilihan. Ini merupakan salah
satu sebab mengapa ngelmu firasat senantiasa penting bagi orang Jawa,
walaupun semata-mata di gunakan untuk memperoleh pengetahuan watak manusia saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau udah dibaca mohon sisipkan komentar ea :D
untuk kemajuan blog saya
terimakasih :D