TANAH DAN TENAGA KERJA PERKEBUNAN

Posted by Unknown On Selasa, 18 Desember 2012 0 komentar
TANAH DAN TENAGA KERJA PERKEBUNAN

Perkembangan budidaya perkebunan di Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari peran kaum penjajah, terutama Belanda. Dengan masuknya Belanda ke Indonesia, maka masyarakat Indonesia yang semula hanya mengenal system kebun dan tegal dalam mengusahakan tanahnya, mulai diperkenalkan dengan system perkebunan.



Dalam masa-masa selanjutnya, perkembangan perkebunan di Indonesia sangan ditentukan oleh factor politik yang dijalankan oleh para pemimpin yang saat itu berkuasa di Indonesia. Pada masa berkuasanya VOC yang menerapkan system monopoli untuk menguasai perdagangan terutama rempah-rempah, terjadi perluasan kebun dan ledakan produksi rempah-rempah, disamping munculnya perkebunan-perkebunan baru, yaitu kopi dan tebu di Jawa. Perkebunan di Jawa ini semakin berkembang dengan berkuasanya Gubernur Jenderal Van den Bosch yang menerapkan system tanam paksa, menggantikan system sewa tanah dalam masa pemerintahan Raffles, yang dianggap gagal dalam meningkatkan produksi ekspor untuk kepentingan penjajah. Dengan system Tanam Paksa ini, Van den Bosch telah berhasil menjadikan Jawa khususnya, menjadi daerah perkebunan yang subur, mekipun harus dibayar dengan penderitaan rakyat banyak. Namun secara tidak langsung pelaksanaan tanam paksa juga telah mengenalkan kepada rakyat Indonesia suatu teknologi baru dalam bidang pertanian, serta pengenalan terhadap biji-biji tanaman perdagangan seperti tebu, indigo, tembakau dan sebagainya.

Perkembangan perkebunan diluar Jawa terutama didukung oleh pemberian kesempatan kepada pemodal swasta mengusahakan perkebunan ditanah jajahan. Dengan demikian hak erfpacht dan hak konsensi, para pengusaha asing mulai menanamkan modalnya, membangun perusahaan-perusahaan perkebunan diluar Jawa, sehingga jenis-jenis tanaman keras seperti karet, kopu, the, kelapa sawit dan sebagainya mulai bermunculan. Yang lebih menarik lagi, saat itu juga mulai bermunculan perkebunan rakyat (pribumi) yang semakin nyata kedudukan dan peranannya.

Di dalam buku ini juga dijelaskan peraturan-peraturan atau hokum pertanahan di Indonesia sejak jaman penjajahan hingga tercapainya kemerdekaan memang selalu berubah-ubah. Kita kenal adanya system monopoli dan pungutan paksa di jaman VOC, yang mewajibkan rakyat agar menjual segala hasil bumi yang laku di pasaran Eropa, kepada pemerintahan Belanda. Di jaman pemerintahan Raffles, ditetapkan peraturan Landrente (pajak tanah) yang dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau berupa hasil bumi. Kemudian di jaman Van den Bosch muncul peraturan baru yang menggantikan system pajak tanah menjadi system tanam paksa.

Sistem peraturan tanah yang diadakan oleh kaum penjajah telah dibuat sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi Negara penjajah, sebaliknya rakyat Indonesia sangat dirugikan dan menderita. Munculnya Agrarsche wet pada tahun 1870 yang berusaha menyeimbangkan antara kepentingan fihak penjajah dan kepentingan rakyat Indonesia, pada kenyataannya juga tidak menjamin peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia, sebaliknya justru memberikan keuntungan berlimpah pagi penjajah itu sendiri.

Akibat dari politik pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah jajahan terhadap rakyat adalah timbulnya kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan. Karena penanam modal selalu mencari sasaran tanah dan memerlukan tenaga manusia yang cukup banyak dan murah, maka tanah rakyat menjadi semakin sempit, bahkan tidak cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Hal ini masih diperberat dengan bermacam-macam pungutan pajak.

Munculnya UUPA yang menjadi titik tolak perombakan hokum agrarian colonial telah memunculkan harapan baru untuk memperbaiki taraf jidup rakyat yang selama ini menderita akubat politik pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah jajahan. Prinsip hukum agrarua yang baru ini menghendaki agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi jelas berbeda dengan politik pertanahan yang selama ini dijalankan oleh pihak penjajah.

UPPA dalam pelaksanaanya memang telah dapat memperbaiki taraf hidup rakyat. Dengan perencanaan tata huna tanah yang baik telah dapat mengangkat beribu-ribu petani tuna kisma menuju kehidupan yang lebuh baik, juga tercapai pemerataan pembanguan diseluruh wilayah tanah air. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan UUPA juga muncul, seperti dalam proses pembebasan tanah untuk proyek perkebunan, adanya kewajiban bagi petani untuk menanam tanaman-tanaman tertentu yang dirasakan oleh petani sebagai “paksaan.

Dalam buku ini dijelaskan juga tentang tenaga kerja perkebunan. Upaya yang ditempuh oleh para pengusaha untuk memperoleh keuntungan ekspor dan komoditi perkebunan adalah menekan serendah mungkin biaya produksi. Faktor priduksi yang dapat ditekan sangat rendah adalah tanah dan tenaga kerja. Kesempatan itu diperoleh melalui penguasa pribumi yang mengadakan transaksi sewa tanah serta menjamin penyediaan tenaga kerja. Kerja sama yang terjalin dengan baik dengan kepala-kepala pribumi ini ternyata merupakan perintisan sejak bangsa Belanda mengadakan penetrasi ditanah jajahan.

Ketika dimulainya system Tanam Paksa, ternyata yang menjadi pokok persoalan bukan pada tanah yang dibutuhkan dalam usaha perkebuan tetapi justru pada tuntutan tersedianya tenaga kerja. Keputusan untuk membebankan pajak tanah kepada desa dianggap sebagai cara terbaik untuk memperoleh tenaga kerja. Pada kesempatan itu, kerja bakti menjadi alat penukar pajak tanah dengan pembebanan utama pada desa. Menurut ketentuan terdahulu, hanya mereka yang memiliki tanah yang wajib membayar pajak. Kenyataan ini member inspirasi pada Pemerintah hindia Belanda untuk memberikan pernyataan bahwa tanah adalah milik desa atau dengan kata lain diadakan penghampusan hak milik secara pribadi. Pada hakekatnya cara ini identik dengan pernyataan bahwa semua tanah adalah milik Negara. Perubahan inilah yang merintis terbentuknya wilayah pedesaan sebagaimana yang terdapat saat ini

Keadaan tenaga kerja Indonesia sat ini tidak lepas dari sejarah tenaga kerja masa lampau yang diwarnai dengan pengalaman pahit pada masa penjajahan. Nampak sangatmemprihatinkan bila perkebunan dimasa lalu diidentikkan dengan perbudakan. Namun demikian pengalaman pahit tersebut telah membawa Indonesia di mata dunia Internasional sebagai begara pengekspor berbagai komoditi perkebunan.

Wajah perkebunan masa sekarang dapat dikatakan masih dibayangi situasi perkebunan zaman penjajahan, walaupun tidak lagi separah masa lampau. Kondisi ekonomi tenaga kerja yang disebabkan upah rendah ternyata masih mendominasi perkebunan-perkebunan di Indonesia. Walaupun sebenarnya kenaikan upah secara nominal, namun tidak terdapat perubahan berarti dalam tingkat kesejahteraan mereka.

Tidak sedikit upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menaikkan taraf giduprakyat, baik melalui penyerapan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan milik Negara, swasta maupun dengan diterapkan pola PIR. Sehubungan dengan ini, tugas pemerintah yang terpenting adalah sepenuhnya berperan sebagai pengontrol pelaksanaan perkebunan dalam melaksanakan TRI DARMA perkebunan. Pertama menciptakan lapangan kerja, kedua meningkatkan pendapatan devisa Negara dan ketiga pemeliharaan kelestaruan sumber daya alam dan lingkungan.

0 komentar:

Posting Komentar

Kalau udah dibaca mohon sisipkan komentar ea :D
untuk kemajuan blog saya
terimakasih :D