posisi dan peran orang – orang Kaya dalam kehidupan Kerajaan Aceh

Posted by Unknown On Sabtu, 20 Oktober 2012 0 komentar
Pada puncak jenjang social terdapat segolongan orang yang mempunyai hak-hak istemewa, yaitu orang kaya; bangsa Eropa menuliskan kata-kata itu dengan “orancaya”.”orancaye” atau menerjemahkannya dengan “gentilzhommes” (Fr. Martin), (noblemen” (Davis). Istilah melayu kaya sama dengan “kaya” sekarang, tetapi sebagai mana dikemukakan oleh L-C. Damais, belum pasri arti itu sangat tua “ oleh karena akarnya sama dengan akar daya dan raya, maka mungkin maksud aslinya mulia, kuasa. Oleh karena padananya dalam bahasa Perancis seperti grands, notables, aristocrats mempunyai prestise semantic yang sudah sendirinya berlainan, kami lebih suka memakai ungkapan melayu.

Julukan orang kaya sering kali kita dapatkan di masyarakat kerajaan Aceh, Malaka, Maluku, Jambi, Indragiri. Dalam hikayat Hitu sering dijumpai sebutan orang kaya yang disamkan dengan orang besar. Di Aceh yang dijuluki orang kaya ternasuk golongan bangsawan yang turut bertanggung jawab dalam admisistrasi kota. Mereka dibawah perlindungan taja dan sebaliknya hatus turut memelihara ketertiban keratin, mereka tidak bersenjata dan dikelilingi oleh budak-budaknya. Apabila di istana diadakan persidangan tentang masalah-masalah criminal yang tempatnya dekat dengan gerbang istana, persidangan tersebut dihadiri oleh kepala orang kaya.

Tidaklah terlalu sulit untuk melihat kenyataan social yang bagaimana yang tersirat dalam sebutan tersebut. Orang kaya Nampak menenpati kedudukan social yang khas. Dikota ia mempunyai kediaman besar yang ramai dengan langganan dan hamba. Dalam lumbung-lumbungnya ada cadangan beras yang dipakainya untuk berspekulasi, atau cadangan lada yang penjualannya diusahakannya dengan harga setinggi-tingginya. Ia mempunyai hubungan usaha dengan pedagang India dan Cina. Apakah dia memiliki kapal sendiri tak dikatakan.

Kekuasaan mereka terasa diluar daerah pemukiman yang sebenarnya. “Orang kaya itu masing-masing bertanggung jawab atas suatu keluasan tanah yang penduduknya tunduk kepada mereka dan kepala peradilan mereka; kalau ada persengketaan atau kesalahan mengenai apapun juga, orang yang bersangkutan dipanggil ke ambang pintu rumah mereka; disitulah mereka bersidang.

Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa kekuasaan ekonomi dan materil itu dirangkap dengan “wibawa” yang tidak boleh diremehkan artinya. Pada wibawa yang dipunyainya dalam mata penduduk itulah sama seperti kekayaannya, bahkan barang kali lebih bertumpu kekuatan orang kaya itu. Mereka juga membedakan diri dalam pakaian maupun dalam makanan mereka, bahwa orang kaya itu bisa dibedakan dari rakyat biasa kerena mereka membiarkan kuku ibu jari dan kuku kelingking tumbuh panjang, tanda mereka tidak bekerja dengan tangan

Pada awal abad XVII tadi, orang kaya merupakan suatu kelompok yang homogeny dan kompok. Mereka berhasil membina suatu tradisi dan tidak lupa bahwa pada tahun 1589 mereka sendirilah yang menawarkan tahta kepada Ala ad-Din Ri”ayat Syah yang sudah tua itu; meskipun untuk sementara mereka menderita kerana kekuasaan yang mereka anggap melampaui batas, mereka selalu memikirkan kemungkinan akan merebut kembali peranan yang diserobot dari tangan mereka.

Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada. peranan orang kaya dan orang laut sangat besar, yang pertama karena kekayaannya dan pengaruhnya dalam dunia perdagangan sedangkan yang kedua karena memiliki seni perang dan navigasi. Wibawa mereka , keunggulan mereka yang diakui tanpa kata, tidak bisa diabaikan oleh sultan; ia dihargai jasa mereka dan mengajari mereka dengan berbagai jabatan, baik sipil maupun militer. Salah orang diantara mereka umpamanya harus di hadapi oleh semua pedagang yang ingin diterima oleh Sultan, ia memanfaatkan keadaan dan memungut keuntungan materil yang sebesar-besarnya dari perdagangan itu; para pedagang mengadukannya kepada Sultan trtapi sang raja tidak dapat memarahinya. Ada yang di dermaga-dermaga pelabuhan mengawasi pemungutan bea cukai dan secara sah dan ada fasal dalam Adat Aceh yang dengan tegas menyebutnya dan memungut bea tambahan yang masuk kas mereka pribadi. Ada lagi yang mengatur polisi, yang lain memimpin ronda malam; semua perwira diambil dari golongan mereka.

Jumlah mereka yang tepat tidak diketahui, tetapi menurut perkiraan yang layak ada beberapa puluh. Lagi pula tidak boleh dilupakan bahwa pada zaman yang sedang kita amati, golongan mereka sama sekali tidak bisa disamakan dengan kasta yang keuntungan-keuntungannya hanya dapat diturunkan dari ayah ke anak. Beliau bercerita bagaimana “Aa ad- Din Ri’ayat Syah mengangkat suatu kelompok yang baru sana sekali, setelah yang lama dibantainya. Menjadi orang kaya masih mungkin asal saja orang itu pandai menyenangkan hati Sultan dan mendapatkan perkenannya. Orang Kaya yang sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sultan.

Gambar : "Orang Kaya Putih”



Untuk menyediakan makanan dan untuk mengadakan barang dagangan yang diperlukan perniagaanya, Aceh sedikit pun tak boleh lengah terhadap saingan-saingannya, saingan kemarin seperti Pasai dan Pedir yang tidak boleh muncul kembali, saingan harikini seperti Malaka, Perak, Johor, Pahang yang harus dicegah melancarkan persaingan sedikitpun. Maka Aceh harus mempunyai politik maritime dan menjaga supaya semua rute listas-samudra selalu baik memusat ke pelabuhannya; bersamaan dengan itu harus ada politik “tanah daratan” dan meskipun rasanya kurang menyenangkan, tapi selalu harus diusahakannya supaya pertanian terangsang, budak diimpor, desa-desa besar di sekelilingnya dan tanah-tanah hutan di pedalaman diawasi, kekuasaannya atas kebun-kebun lada yang lebih jauh ditegakkan.

Maka dua bidang yang hatus dijaganya : di dalam negeri gejolak orang kaya yang tak seberapa kesadarannya akan kepentingan umum harus ditindas; kepatuhan wilayah-wilayah yang sudah tunduk harus tetap terjamin; pembagian beras yang perlu diadakan harus diawasi; orang-orang harus dibuat mau menerima disiplin bersama dan mau menghormati kewibawaan yang taj dapat dipungkiri lagi; diluar negeri harus diadakan sarana intuk politik yang jauh jangkauannya

Kita telah melihat bahwa pada tahun 1579 terjadi krisis wangsa di Aceh dan bahwa dalam satu tahun itu ada tiga Sultan yang bergantian menduduki tahta. “Sejak habisnya garis keturunan raja-raja lama kira-kira 40 tahun yang lalu dan keterangan ini cocok dengan tahun 1579, raja ditentukan dengan jalan pemilihan”. Oligarki orang kaya itu pasti tidak selalu dapat mengadakan pengangkatan menurut kemauannya sendiri. Meskipun begitu, waktu Ali Ri’ayat Syah wafat 28 juni 1589, orang kaualah yang sekali lagi menangani keadaan dan menawarkan kekuasaan tertinggi kepada seorang pria yang sudah tinggi umurnya, yang pasti diharapkan dapat dikendalikan dengan mudah dan bakal lekas wafat. Pria itu bergelar ‘Ala ad-Din Ri’ayat Syah.

Dialah yang kemudian memakai kekerasan terhadap orang kaya dan meletakkan dasar kekuasaan pribadi yang buahnya akan dipetik oleh cucunya. Tetapi pemerintahannya yang berawal semantap itu, berakhir dengan kurang baik. ‘Ala ad-Din Ri’ayat Syah mempunyai dua putra yang sudah siap mempertengkarkan penggantinya; mereka berontak sebelum ayah mereka wafat. Ayah itu mereka kurang dan mungkin orang tua itu meninggal dunia di penjara. Putranya yang sulung, Sultan Muda, mengambil gelar ‘Ali Ri’ayat Syah dan memegang pemerintahan Aceh; adiknya menarik diri sebagai gubernur di pidir. Iskandar Muda yang masih muda, yang pada masa kanaknya dimanja kakeknya berumur 21 tahun waktu kejadian-kejadian tadi.
Salah satu tibdakan pertama yang diambil Sultan yang baru ialah mengikuti teladan kakeknya dan mengamankan para orang kaya yang sejak 1604 ikut bersekongkol dan berkomplotan dengan kedua pamannya. Mereka yang dibiarkan gidup terus dengan selamat, diawasi dengan sangat ketat: semua orang kaya dari Aceh dan sekitarnya harus menghadap ke istana tiga hari sekali dan ikut mengawal satu hari satu malam, semuanya itu tanpa memakai senjata. Mereka tidur dalam gubuk-gubuk kecil yang didirikan kusus bagi mereka dalam salah satu pelataran istana. Kalau sedikitpun ada usaha membangkan, yang bersangkutan langsung kena denda atau dibunuh.

Ada beberapa contoh hukuman yang dijatuhkan pada orang kaya yang tak mau tunduk. Tiga diantara mereka seketika menjalani hukumanb mati kerena sesudah serbuan atas perak yang berakhir atas kemenangan, mereka membagi hasil rampas,an antara mereka dan tidak menyerahkannya kepada khazanah raja, mereka memecah-mecah perhiasannya dan menjualnya sebutir-butir, sesuatu hal yang merupakan kejahatan

Pertama-tama ada beras, daging, ikang, unggas sampai pinang, yang wajib dihasilkan hamba sahayanya di daratan dan yang setiap hari harus mereka kirim ke ibukota. Adalah tuhas para bendahara untik menyisihkan jumlah yang diperlukan untuk pangan istana dan beras yang dibagikan kepada semua hamba Sultan. Sisanya dibawa ke pasar dan langsung dijual. Itu hanyalah pajak Sultan yang pertama-tama dimaksud untuk memenuhi keperluan pasar raja. Orang kaya pasti juga mempunyai petani-prtani mereka yang setiap hari harus memenuhi keperluan rumah mereka di kota
Dengan demikian sang raja mengambil sebagian besar dari panen tadi; tidak dikatakan apakah orang kaya juga dapat memanen dan menjual padi, tetapi besar kemungkinan demikianlah halnya

0 komentar:

Posting Komentar

Kalau udah dibaca mohon sisipkan komentar ea :D
untuk kemajuan blog saya
terimakasih :D