TANAH DAN TENAGA KERJA PERKEBUNAN
READ MORE
Perkembangan budidaya perkebunan di Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari peran kaum penjajah, terutama Belanda. Dengan masuknya Belanda ke Indonesia, maka masyarakat Indonesia yang semula hanya mengenal system kebun dan tegal dalam mengusahakan tanahnya, mulai diperkenalkan dengan system perkebunan.
Dalam masa-masa selanjutnya, perkembangan perkebunan di Indonesia sangan ditentukan oleh factor politik yang dijalankan oleh para pemimpin yang saat itu berkuasa di Indonesia. Pada masa berkuasanya VOC yang menerapkan system monopoli untuk menguasai perdagangan terutama rempah-rempah, terjadi perluasan kebun dan ledakan produksi rempah-rempah, disamping munculnya perkebunan-perkebunan baru, yaitu kopi dan tebu di Jawa. Perkebunan di Jawa ini semakin berkembang dengan berkuasanya Gubernur Jenderal Van den Bosch yang menerapkan system tanam paksa, menggantikan system sewa tanah dalam masa pemerintahan Raffles, yang dianggap gagal dalam meningkatkan produksi ekspor untuk kepentingan penjajah. Dengan system Tanam Paksa ini, Van den Bosch telah berhasil menjadikan Jawa khususnya, menjadi daerah perkebunan yang subur, mekipun harus dibayar dengan penderitaan rakyat banyak. Namun secara tidak langsung pelaksanaan tanam paksa juga telah mengenalkan kepada rakyat Indonesia suatu teknologi baru dalam bidang pertanian, serta pengenalan terhadap biji-biji tanaman perdagangan seperti tebu, indigo, tembakau dan sebagainya.
Perkembangan perkebunan diluar Jawa terutama didukung oleh pemberian kesempatan kepada pemodal swasta mengusahakan perkebunan ditanah jajahan. Dengan demikian hak erfpacht dan hak konsensi, para pengusaha asing mulai menanamkan modalnya, membangun perusahaan-perusahaan perkebunan diluar Jawa, sehingga jenis-jenis tanaman keras seperti karet, kopu, the, kelapa sawit dan sebagainya mulai bermunculan. Yang lebih menarik lagi, saat itu juga mulai bermunculan perkebunan rakyat (pribumi) yang semakin nyata kedudukan dan peranannya.
Di dalam buku ini juga dijelaskan peraturan-peraturan atau hokum pertanahan di Indonesia sejak jaman penjajahan hingga tercapainya kemerdekaan memang selalu berubah-ubah. Kita kenal adanya system monopoli dan pungutan paksa di jaman VOC, yang mewajibkan rakyat agar menjual segala hasil bumi yang laku di pasaran Eropa, kepada pemerintahan Belanda. Di jaman pemerintahan Raffles, ditetapkan peraturan Landrente (pajak tanah) yang dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau berupa hasil bumi. Kemudian di jaman Van den Bosch muncul peraturan baru yang menggantikan system pajak tanah menjadi system tanam paksa.
Sistem peraturan tanah yang diadakan oleh kaum penjajah telah dibuat sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi Negara penjajah, sebaliknya rakyat Indonesia sangat dirugikan dan menderita. Munculnya Agrarsche wet pada tahun 1870 yang berusaha menyeimbangkan antara kepentingan fihak penjajah dan kepentingan rakyat Indonesia, pada kenyataannya juga tidak menjamin peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia, sebaliknya justru memberikan keuntungan berlimpah pagi penjajah itu sendiri.
Akibat dari politik pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah jajahan terhadap rakyat adalah timbulnya kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan. Karena penanam modal selalu mencari sasaran tanah dan memerlukan tenaga manusia yang cukup banyak dan murah, maka tanah rakyat menjadi semakin sempit, bahkan tidak cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Hal ini masih diperberat dengan bermacam-macam pungutan pajak.
Munculnya UUPA yang menjadi titik tolak perombakan hokum agrarian colonial telah memunculkan harapan baru untuk memperbaiki taraf jidup rakyat yang selama ini menderita akubat politik pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah jajahan. Prinsip hukum agrarua yang baru ini menghendaki agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi jelas berbeda dengan politik pertanahan yang selama ini dijalankan oleh pihak penjajah.
UPPA dalam pelaksanaanya memang telah dapat memperbaiki taraf hidup rakyat. Dengan perencanaan tata huna tanah yang baik telah dapat mengangkat beribu-ribu petani tuna kisma menuju kehidupan yang lebuh baik, juga tercapai pemerataan pembanguan diseluruh wilayah tanah air. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan UUPA juga muncul, seperti dalam proses pembebasan tanah untuk proyek perkebunan, adanya kewajiban bagi petani untuk menanam tanaman-tanaman tertentu yang dirasakan oleh petani sebagai “paksaan.
Dalam buku ini dijelaskan juga tentang tenaga kerja perkebunan. Upaya yang ditempuh oleh para pengusaha untuk memperoleh keuntungan ekspor dan komoditi perkebunan adalah menekan serendah mungkin biaya produksi. Faktor priduksi yang dapat ditekan sangat rendah adalah tanah dan tenaga kerja. Kesempatan itu diperoleh melalui penguasa pribumi yang mengadakan transaksi sewa tanah serta menjamin penyediaan tenaga kerja. Kerja sama yang terjalin dengan baik dengan kepala-kepala pribumi ini ternyata merupakan perintisan sejak bangsa Belanda mengadakan penetrasi ditanah jajahan.
Ketika dimulainya system Tanam Paksa, ternyata yang menjadi pokok persoalan bukan pada tanah yang dibutuhkan dalam usaha perkebuan tetapi justru pada tuntutan tersedianya tenaga kerja. Keputusan untuk membebankan pajak tanah kepada desa dianggap sebagai cara terbaik untuk memperoleh tenaga kerja. Pada kesempatan itu, kerja bakti menjadi alat penukar pajak tanah dengan pembebanan utama pada desa. Menurut ketentuan terdahulu, hanya mereka yang memiliki tanah yang wajib membayar pajak. Kenyataan ini member inspirasi pada Pemerintah hindia Belanda untuk memberikan pernyataan bahwa tanah adalah milik desa atau dengan kata lain diadakan penghampusan hak milik secara pribadi. Pada hakekatnya cara ini identik dengan pernyataan bahwa semua tanah adalah milik Negara. Perubahan inilah yang merintis terbentuknya wilayah pedesaan sebagaimana yang terdapat saat ini
Keadaan tenaga kerja Indonesia sat ini tidak lepas dari sejarah tenaga kerja masa lampau yang diwarnai dengan pengalaman pahit pada masa penjajahan. Nampak sangatmemprihatinkan bila perkebunan dimasa lalu diidentikkan dengan perbudakan. Namun demikian pengalaman pahit tersebut telah membawa Indonesia di mata dunia Internasional sebagai begara pengekspor berbagai komoditi perkebunan.
Wajah perkebunan masa sekarang dapat dikatakan masih dibayangi situasi perkebunan zaman penjajahan, walaupun tidak lagi separah masa lampau. Kondisi ekonomi tenaga kerja yang disebabkan upah rendah ternyata masih mendominasi perkebunan-perkebunan di Indonesia. Walaupun sebenarnya kenaikan upah secara nominal, namun tidak terdapat perubahan berarti dalam tingkat kesejahteraan mereka.
Tidak sedikit upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menaikkan taraf giduprakyat, baik melalui penyerapan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan milik Negara, swasta maupun dengan diterapkan pola PIR. Sehubungan dengan ini, tugas pemerintah yang terpenting adalah sepenuhnya berperan sebagai pengontrol pelaksanaan perkebunan dalam melaksanakan TRI DARMA perkebunan. Pertama menciptakan lapangan kerja, kedua meningkatkan pendapatan devisa Negara dan ketiga pemeliharaan kelestaruan sumber daya alam dan lingkungan.
Wayang Wong Sriwedari
READ MORE
Sebagai sebuah genre yang digolongkan ke dalam drama tari, sesungguhnya wayang wong merupakan personifikasi dari wayang kulit purwa yang ceritanya mengambil epos Ramayana dan Mahabarata. Kehadirannya di Istana Mangkunegaraan dan di Kasultanan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-18 menurut para ahli merupakan renaissance wayang wwang yang telah berkembang pada masa kerajaan Majapahit, bahkan diduga sudah berkembang pada masa sebelumnnya seperti diketemukan pada prasasti Wimalasrama pada tahun 930 tentang penggunaan istilah wayang wwang. Kata wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti “bayangan, sedang kata wwang berarti “ orang atau manusia”. Jadi wayang wwang dapat diartikan sebuah pertunjukan wayang yang pelaku-pelakunya dimainkan oleh manusia.
Wayang wong secara khusus digunakan untuk menyebut drama tari yang bertopeng dan membawakan cerita Ramayana, sedang parwa untuk menyebut dramatari yang tidak bertopeng dan ceritanya mengambil dari Mahabarata. Wayang wong adalah suatu drama tari berdialog prosa yang ceritanya mengambil dari epos Ramayana dan Mahabarata. Konsepsi dasar wayang wong men gacu pada wayang kulit purwa, oleh karena itu wayang wong merupakan personifikasi wayang kulit purwa. Tranformasi wayang kulit kedalam wayang wong sebagai ekspresi artistic sebagai langkah kreatif dan inovatif dalam kesenian tentu melahirkan tata nilai baru perkembangan seni tari Jawa, yang dalam perkembangannya menjadi pedoman dasar tari klasik.
Dalam perkembangan seni tari Jawa, keberadaan wayang wong menunjukkan tingkat perkembangan yang paling lengkap dan rumit. Masing-masing peran dalam wayang wong memiliki criteria estetis yang melahirkan penggolongan perwatakan tari,rias dan busana, serta gending iringan. Kriteria ini didasarkan pada nilai symbol dan makna yang diyakini pada pembedaan karakter wayang. Keseluruhan tokoh dalam wayang wong dipilihkan dalam beberapa bagian pokok sesuai dengan karakterisasinya.
Menurut sukidi selaku penikmat kesenian wayang wong, penonton wayang wong pada kalangan para anak muda sangat memprihatinkan, artinya para generasi muda lebih suka pada hiburan-hiburan yang bersifat band-band yang berkembang sekarang ini. Beberapa catatan yang turut menyertai proses pemudaran pamor seni panggung wayang wong ini yang pertama adalah mulai berkembangnya budaya rekam.Budaya rekap tersebut membuat hampir tumbangnya hamper seluruh jenis seni panggung . Hal ini terjadi dikarenakan seni rekam lebih mudah diakses dan lebih mursh dari sisi pembuatannya, yang lebih mudah diproduksi dan disebarluaskan.
Sebuah pertunjukan wayang wong tidak semata-mata sebagai pertunjukan estetis yang memiliki nilai arstistik yang tinggi dan adi luhung, tetapi peristiwa itu merupakan sebuah pertunjukan kemegahan dan kebesaran raja dalam formalitas budaya kraton sebagai pusat kebudayaan. Pertunjukan itu memperkokoh hidup, member patokan dan sikap hidup yang benar yang dapat memberi jalan kepada keselamatan hidup dan mengantar ke dalam rahasia-rahasia hidup. Wayang yang mengambil wiracarita Ramayana dan Mahabarata merupakan cerita yang berbicara kepada semua orang, tinggi rendah, tua muda, laki-perempuan. Dunia pemikiran wayang ini mempersatukan seluruh rakyat yaitu menghubungkan lingkungan feudal dengan lingkungan desa. Oleh karena itu wayang merupakan symbol mitos dalam kerangka pemikiran dunia mikro kosmos dan makro kosmos, keratin sebagai pusatnya.
Ditinjau dari segi bentuk dan gaya, Wayang Wong Sriwedari merupakan perkembangan wayang wong gaya Surakarta (gaya Istana Mangkunegaran) yang sudah mengalami perubahan gaya penampilan disesuaikan dengan bentuk panggung proscenium. Penyesuaian dari struktur panggung proscenium menunjuk pada aspek penyajian tata teknik pentas, garapan tari dan iringan. Namun konsep-honsep dasar estetis wayang wong Istana tetap dipertahankan, misalnya konsep wayang wong keluar masuk penari dari sisi kanan atau kiri sesuai dengan konsep tata busana dan rias yang disesuaikan dengan konsep perwatakan tarinya, dan konsep struktur pathet yang senantiasa diacu untuk menyusun pola atau komposisi gending iringan.
Dalam tradisi wayang wong terdapat juga perwatakan tari yang digolongkan madyatama, yang biasanya digunakan untuk tokoh bengawan, Prabu Salya, Prabu Anom Duryudana.
Adanya pemindahan lokasi kebun binatang dari Taman Sriwedari ke taman hiburan Jurug pada tahun 1982 karena akan digunakan sebagai tempat parker stadion Sriwedari, sebenarnya sangat berpengaruh terhadap jumlah pengunjung pertunjukan Wayang Wong Sriwedari. Jumlah pengunjung kebun binatang Jurug yang setiap tahunnya meningkat sebenarnya merupakan pengunjung yang potensial untuk pertunjukan Wayang wong Sriwedari. Mereka umumnya dari luar daerah Kotamadya Surakarta yaitu dari daerah pedesaan disekitar Karesidenan Surakarta yang merupakan masyarakat penggemar wayang wong. Menurut pendapat Sutarto, seorang bekas penari wayang wong Sriwedari dan cipta Kawedar, serta bekas penari dan sutradara wayang wong RRI stasiun Surakarta, bahwa wayang wong masih banyak dinikmati masyarakat desa kabupaten Kebumen.
Memang pertunjukan wayang wong di daerah bukan merupakan ukuran jaminan keberhasilan seni pertunjukan kota yang bersifat komersial dan rutin. Dalam mengantisipasi permasalahan kemunduran wayang wong sriwedari, kiranya bantuan pemerintah yang berupa pengangkatan sebagai pegawai negeri dan pegawai hinorer, serta bantuan rutin dari presiden harus dibarengi usaha mencari seorang produsen dan sutradara kreatif dan inovatif
Dalam mengantisipasi permasalahan kemunduran Wayang wong Sriwedari, kiranya bantuan pemerintah yang berupa pengangkatan sebagai pegawai negri dan pegawai honorer, serta bantuan rutin dari presiden harus dibarengi usaha mencari seorang produsen dan sutradara yang kreatif dan inovatif yang sanggup membuat pembaharuan dan penerobosan yang segar dan radikal. Prodisen dan sutradara kreatif dan inovatif tentu harus didampingi koregraf, juru teknik, dekor, kostum, dan penari serta pangrawit yang mampu menerjemahkan ide cemerlang dengan teknik dan trick baru yang inovatif. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian bagaimana dan sejauh mana selera public wayang wong dewasa ini. Oleh karena itu dibutuhkan system pemasaran yang benar-benar professional, mulai dari perencanaan biaya dan bentuk produk yang akan dipasarkan dengan mempertimbangkan tingkat kepuasan konsumen, besarnya harga tiket dan promosi agar dapat mengkondisikan minat wayang wong. Sisi lain kemajuan kebudayaan material yang ditandai fenomena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu diimbangi upaya penyesuaian diri agar tidak terjadi ketertinggalan kebudayaan, baik pembangunan struktur fisik sarana dan prasarana gedung pertunjukan beserta fasilitasnya maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia secara professional dengan cita rasa zamannya.
Menurut KRT.Diwasa, Wayang Orang Sriwedari saat ini masih memiliki kendala internal mauun eksternal yang harus diselesaikan. Antar alain, manajemen yang belum tertata, kurangnya sumberdaya manusia dan konsep pertunjukan masih mengacu pola lama, meski tidak dipungkiri sudah mengalami banyak perubahan. "Sementara kendala keluarnya, kurang sosialisasi dan promosi,".
Kemunduran system publikasi tampaknya ada kesan masa bodoh dan ketidakpedulian terhadap peran peblikasi untuk membentuk basis social wayang wong sriwedari. Oleh karena itu untuk mengembalikan citra keberadaan wayang wong sriwedari diperlukan suatu tata cara publikasi dengan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Dinas Tata Kota, Dinas Pendapatan Daerah, Radip Pemerintah atau Swasta dan surat kabar. Melalui tatacara publikasi yang baik dan aspek penyajian seni yang baik serta inovatif, maka kemungkinan besar kekecewaan ketidakhadiran penonton dapat terobati.
Dinamika perkembangan Wayang Wong Sriwedari tampaknya sangat dipengaruhi oleh kesetiaan masyarakat pendukungnya. Fenomena ini sangat wajar mengingat public suatu tontonan komersial merupakan unsure vital yang harus senantiasa mendapat perhatian. Kekuatan besar dari jumlah penonton memiliki arti strategis baik secara ekonomis maupun sosio-budaya. Artinya, bahwa jumlah penonton yang besar berdampak pada nilai pendapatan lembaga kesenian itu yang nantinya intuk dikontribusikan bagi peningkatan kualitas estetis dan kualitas kesejahteraan hidup para pelaku seni.
Hal ini berakibat pula pada kehidupan sosilal-budaya yang memiliki keterkaitan dengan status ekonomi, gaya hidup dan sekaligus tingkat kreatifitas para seniman. Tetapi ketika kesenian itu tidak memiliki public yang besar, akhirnya berdampak pada kualitas estetis dan kehidupan seniman dengan aspek social-budaya. Upaya untuk menarik minat penonton melalui peningkatan sarana dan prasarana gedung pertunjukan seperti perbaikan panggung pertunjukan yang dilengkapi denmgan perlengkapan tata suara dan tata cahaya yang modern diharapkan mampu menarik minat penonton.
Wayang wong Sriwedari sebagai salah satu bentuk wayang wong panggung yang bersifat komersial, sebenarnya sifat komersialnya tidak secara murni sebab kelembagaan kesenian itu tergantung dukungan dana dari pemerintah kraton atau pemerintah daerah Kota Madya Surakarta sesudah pemerintah swapraja itu beritegrasi dengan Jawa Tengah. Bertahannya wayang wong Sriwedari dari kepunahan kemungkinan besar karena adanya dukungan dana dan perhatian dari pemerintah, meskipun masa kejayaannya sekitar tahun 1955-1965 pernah merupakan sumber pendapatan daerah yang potensial atau kesenian tradisonal itu mampu member subsidi kepada pemerintah daerah.
Adanya kemunduran wayang wong Sriwedari kiranya bukan tanpa sebab, baik oleh factor internal maupun sebab-sebab eksternal : Sebab internal antara lain bentuk pertunjukan yang bersifat statis dan konvensional, meskipun ada perubahan, namun perubahan itu belum mampu menarik penonton, Adanya keterlambatan alih generasi yaitu masih bertahannya para seniman senior dan bintang panggung yang sebenarnya sudah tidak menarik lagi untuk tampil sebagai daya tarik seni panggung yang harus tampil secara segar, menarik dan gemerlap. Sementara seniman yunior belum mampu tampil secara maksimal dan menjadi bintang panggung yang mampu menarik minat public. Dan yang selanjutnya sarana dan prasarana gedung beserta fasilitas pendukung lainnya masih relative sederhana yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Adapun sebab-sebab eksternal antara lain: Banyak alternative pasar dan penawaran berbagai bentuk hiburan yang lebih variatif dan sesuai dengan perkembangan zaman seperti televise, film, music dan jenis permainan baru yang menggunakan teknologi canggih dan Sistem pendidikan nasional cenderung memperkecil ruang gerak mata pelajaran muatan local, sehingga dalam system budaya akan mempengaruhi subsistem pengetahuan dan subsistem nilai dan subsistem symbol.
Permasalhan Wayang WongSriwedari sebenarnya menyangkut masalah nilai dan sikap masyarakat pendukungnya. Adanya jarak budaya ini tentu saja sangat ditentukan oleh tingkat kemajuan pembangunan dan perubahan social. Semuanya itu sangat tergantung adanya intensitas kimunikasi inter dan antarbudaya yang dewasa ini hamper tidak ada batas wilayah dan waktu. Pengaruh media dramatic televise benar-benar mampu mempengaruhi perubahan sikap dan nilai yang diyakini masyarakat. Sifat praktis dan efektif media televise menjadikan manusia semakin manja untukda dalam suatu ruangan. Akibatnya orang enggan keluar rumah untuk menikmati atraksi seni yang dulu menjadi bahian dari gaya hidup mereka.
Kelemahan yang cukup menonjol ialah sikap mental senimannya, terutama etos kerja mereka yang selama ini berjalan rutin dan monoton. Antara pemain senior dengan pemain yunior membuat lembaga ini mengalami keterlambatan alih generasi, Karena sikap seniotnya yang terkadang masih berambisi untuk tampil tampa member kesempatan kepada yuniornya, atau terkadang para pemain yunior diplonco diatas panging sementara pengalaman pentas masih sedikit. Hal yang paling cukup menonjol ialah terjadinya kemandekan kreatifitas para senimannya. Semua gambaran ini sebenarnya karena lemahnya system manajemen produksi dan belum adanya orang yang mampu mengelola secara professional.