Buku Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau karangan Soemarsaid Moertono ini berisi tentang masalah kewenangan raja dan hubungan Kawula-Gusti atau dalam kata lain hamba dan tuan pada masa Mataram II di mana hubungan ini lebih merupakan ikatan pribadi dan akrab , saling hormat dan bertanggung jawab antara raja dan rakyatnya. Kalau dalam kehidupan sehari –hari hubungan kawula gusti ini seperti rasa kasih sayang di dalam keluarga atau di dalam masyarakat. Dalam mistik Jawa jumbuhing kawula gusti adalah bagaimana menyatunya hamba dan tuan yaitu bagaimana tercapainya kesatuan yang sesungguh nya antara hamba dan tuan.
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa seorang raja apabila tidak ada rakyat maka kekuasaan yang ada di tangannya tidak akan berguna ibaratkan sekarang kalau ada presiden tapi kalau tidak ada masyarakat akan percuma Dalam pemikiran Jawa konsep kawula gusti ini merupakan sebuah takdir, kepercayaan yang tak tergoyahkan akan nasib ,dalam kata lain kelahiran seseorang di dunia ini tidak bisa mengubah status dari seorang kawulo menjadi gusti, karena status tersebut telah ditakdirkan oleh Tuhan menurut dimana ia dilahirkan. Ketika seseorang itu lahir ditengah-tengah kerejaan atau mempunyai darah raja maka kedudukannya akan menjadi seorang Gusti, tetapi jika orang itu lahir sebagai masyarakat biasa maka keduduklannya tetep cuma sebagai kawula atau hamba . Namun kedua posisi tersebut tetap memiliki hubungan yang erat dan memiliki tingkatan. Dalam posisi sosial masyarakat jawa memiliki hubungan yang unik, terutama terkait dengan hubungan kawulo dan gusti.
Kedua status dalam masyarakat ini memiliki perbedaan-perbedaan, terutama terlihat pada penggunaan pakaian, bahasa sehari-hari- dibedakan menjadi kromo inggil, kromo, madyo, dan ngoko. Jenis-jenis bahasa itu digunakan masyarakat jawa dalam aturan-aturan tersendiri yang telah tertanam dalam diri setiap anggota masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut menurut tingkatan status seseorang dalam masyarakat yang berfungsi pula sebagai penghormatan terhadap yang lebih tua maupun yang lebih muda, bila dilihat pada kondisi masyarakat sekarang. Namun penggunaan tingkatan bahasa tersebut pada masa sekarang tidak lagi banyak diterapkan dalam masyarakat modern yang sedikit lebih banyak meninggalkan budaya-badaya leluhur. Dalam buku ini diceritakan kisah Jaka Tingkir dan Kisah Ki Ageng Pamanahan dari babad Tanah Jawi. Jaka Tingkir yang di takdirkan untuk menjadi seorang raja Pajang,, ketika masih muda diam bersama Ki Ageng Sela. Orang tua yang bijaksana, ia meluhat isyarat kerajaan yang pasti, sinar cahaya yang memancar dari Jaka Tingkir yang sedang tidur. Hal ini sangat menyedihkan Ki Ageng Sela, karena selama hidupnya, dia senantiasa tekun berdoa dan melakukan tapa keras, dengan harapan akan memperoleh karunia Tuhan agar ia sendiri akan menurunkan garis-garis raja. Kehendak Ki Ageng terpenuhi hanyalah karena semadinya.
Selain untuk memperoleh berkat dari dewa-dewa, yang merupakan tujuan semedi pada umumnya, terdapat tujuan yang lebih pokok, lebih mendalam, yaitu untuk mengetahui apa kehendak Tuhan atau dalam kata lain untuk melihat ke masa depan. Konsep kawula gusti ini juga tidak hanya menunjukkan hubungan antara yang tinggi dengan yang rendah, tetapi menunjukkan kesalingtergantungan yang erat antara kawula dan gusti
Dalam buku Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau ini juga menjelaskan tentang Kedudukan Raja dalam kehidupan Negara dan perbandingan antara masa Jawa-Hindu dan masa Mataram II dalam Jawa-Hindu Raja dinggap sebagai dewa keputasan raja dianggap mutlak karena raja dianggap sebagai dewa sedangkan dalam zaman Mataram II mengenai peranan Raja dijelaskan dalam teory Stutterheim tentang patung persemayaman para raja dan ratu Jawa Timur. Sesungguhnya ajaran islam menolak penyamasuaian yang demikian terang-terangan antara manusiaq dengan Tuhan. Teologi islam menempatkan Raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan se agung sebelumnya, yaitu kedudukan kalipatullah, atau dengan kata lain wali Tuhan di dunia. Tetapi penghapusan penyamasuaian raja-dewa oleh islam tidaklah mengurangi tuntutan pokok kekuasaan raja yang menyeluruh dan mutlak atas para kawula. Dengan datangnya islam sebagai agama baru, raja dan bupatinya harus menuntut lagi haknya dalam hierarki keluasaan yang baru dalam persaingan dengan para pembawa agama Islam Di sini raja berperan sebagai perantara antara rakyat dan Tuhan, begitupun sebaliknya. Jadi setiap kehendak raja harus berdasarkan landasan ajaran Tuhan, apabila tidak maka dianggap ingkar. Tugas utama raja adalah menjaga perdamaian jangan sampai ada muncul gangguan dan memulihkan keadaan apabila telah terjadi gangguan.
Di dalam buku ini juga di jelaskan tentang menjadi Raja yang Ideal orang jawa menggap raja yang ideal sebagai seorang raja yang terus menerus mencari tuntutan illahi (dewa) di dalam batin ini . Dalam tuntutan ilahi akan menyatakan dirinya dalam kawicaksanaan raja
Saat menjadi raja hendaklah memiliki sifat wicaksana atau bijaksana. Yaitu suatu sikap yang harus dimiliki oleh diri setiap raja agar disegani para rakyatnya. Bijaksana adalah sikap yang bertanggungjawab terhadap rakyatnya, dapat bersikap adil dalam menyelesaikam suatu permasalahan. Dalam kamus jawa kata wicaksana memiliki arti bijaksana, berpengalaman, tampil, cerdas dan berpandangan jernih. Sikap yang dimiliki raja adalahkewiicaksanaan menyatakan ketrampilam tertinggi dalam memutuskan suatu permasalahan. Sifat lain yang harus dimiliki oleh raja adalah sifat yang tertanam dalam astabrata. Yaitu sifat yang dimiliki oleh dewa-dewa dalam pantheon Hindu. Empat sifat awal adalah keempat mata angin utama dan keempat yang kedua arah mata angin yang terdapat diantara keempat mata angin utama yang berfungsi sebagai pelengkap.
Maka, raja pun seyogyanya memiliki kedelapanan kebajikan ini :
1. Dana yang tidak terbatas “kedermawanan” sifat Batara Endra kepala semua dewa bawahan
2. Kemampuan untuk menekan semua kejahatan, sifat dewa maut, Yama.
3. Berusaha membujuk dengan ramah dan tindakan yang bijaksana, sifat dewa matahari, surya.
4. Kasih saying, sifat Batara Candra/
5. Pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam, sifat dewa angin, Bayu
6. Kedermawanan dalam memberikan harta benda dan hiburan, sifat dewa harta duniawi, Kuwera
7. Kecerdasan yang tajam dan cemerlang dalam menghadapi kesulitan maxam apa pun, sidat dewa lautan, Baruna
8. Keberanian yang berkorban-kobar dan tekad yang bulat dalam melawan setiap musuh, sifat dewa api, brahma
Kedudukan seorang raja dalam masyarakat jawa, seorang raja harus memiliki garis keturunan yang pasti dan baik. Kepercayaan seperti ini sepertinya terpengaruh oleh tradisi Arab, misalnya fulan bin fulan bin fulan dan seterusnya. Maka tidak dapat terelakkan bahwa pembohongan dalam penulisan sejarah keturunan raja-raja adalah suatu yang biasa untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Dalam kepercayaan Hindu keturunan raja adalah keputusan yang telah mendapat persetujuan dari para dewa. Dalam keagamaan, pengetahuan raja dalam hal ini merupakan suatu yang penting. Keaadaan sifat seorang raja adalah cerminan kondisi masyarakat, sebab sifat raja juga meresap dalam masyarakat
Syarat lain yang pokok bagi seorang raja ideal ialah kemampuan nya untuk memilih pegawai-pegawai, peraturan-peraturan untuk itu dikemukakan dalam banyak karangan. Keseimbangan badaniah dan perangai fisik merupakan unsure penting dalam menentukan pilihan.
Dalam bab ini dijelaskan Pengesahan Kedudukan Raja : Pengantin, perebutan Kekuasaan Kultus Kemegahan. Yang terpenting dari sarana spiritual untuk kemegahan r4aja adalah jasa di bidang keagamaan atau kerohanian pada umumnya. Memiliki cirri-ciri, tindak tanduk dan perilaku yang diperlukan oleh seorang raja yang ideal sangat banyak menambah kemegahan seorang raja. Cara yang lain untuk meningkatkan kemegahan raja adalah silsilah raja. Makin banyak silsilah, dan makin panjang silsilahnya, makin besar pula martabat raja. Pikiran orang jawa berusaha menyatukan dua kebudayaan yang berbeda dari agama Hindu dan Islam untuk menegakkan kesinambungan yang dikehendaki, oleh karena itu raja-raja Mataram dibuatkan silsilah Ganda
Yang selanjutnya untuk menyanjung tinggikan raja ialah persekutuan raja dengan apa yang menurut alam kepercayaan asli disebut makhluk halus yang memiliki kekuatan ghaib.Dan Pusaka, usaka dianggap sebagai kekuatan seorang raja arti pentingnya terletak dalam kekuatan ghaib yang ada di dalam pusaka tersebut.
Yang dianggap sebagai kultus kemegahan iakah materi atau kekayaan. Kekayaan mencakup rakyat banyak dan jumlah anggota keluarga yang besar. Banyak sanak member lebih banyak kekuatan dari segi dukungan, dan dalam suatu masyarakat yang di dalamnya hubungan pribadi merupakan unsure pokok dalam kerangka sosial, kaum , kerabat, berkat hubungan darah, merupakan kelompok gubungan dasar, jauh lebih kuat dan jauh lebih erat terjalin dari pada saat sekarang.
Sarana yang terakgir untuk kultus kemegahan raja ialah harta benda. Gambaran utama tentang kekayaan dan kemegahan adalah dengan membayangkan lingkungan raja bagaikan kahyangan, bagaikan Kaendra (persamaan dewa Indra) atau suralaya, persemayangan sang dewa tertinggi, Batara Guru.
Tetapi memetingkan kekayaan juga dianggap sebagai sikap tercela. Walaupun seorang raja, karena kebesaran batinnya, pasti dilimpahi kekayaan, namun kekayaan seperti juga kebijaksanaan, juga harus mengakir dari raja untuk kepentingan siapa yang memerlukan
Yang diperhatikan oleh orang Jawa dengan saksama adalah cara raja menggunakan tanda-tanda kebesaran. Penyalahgunaan kekuasaan dianggap sebagai tanda bahwa kebesarannya menyusut dan keruntuhannya segera tiba dan orang jawa masih membolehkan penindasan berlaku bila mereka menggangap bahwa raja masih dili[puti wahyu karena sama sekali tak ada gunanya untuk membantah pemilik wahyu
Dengan kedudukan raja yang menguasai segalanya dalam kehidupan Negara, birokrasi sebagai pelengkap teknis kedudukan raja harus mencerminkan perhatian utama raja, yaitu pemelihara keselarasan. Kebutuhan ini yang dinamakan sebagai njaga tatatentreming praja (menjaga ketentraman dan ketertiban Negara) menentukan tugas pokok dan terpenting pangreh-praja yaitu memelihara dan menjaga keamanan. Dalam prakteknya ini berarti menjaga setiap kemungkinan gangguan musuh dari luar maupun kejahatan atau ketidakberesan di dalam negri yang dapat mengganggu keseimbangan antara dua lingkungan alam tersebut.
Dalam bab ini juga membahas Organisasi Tekknis Pemerintahan mengenai perbedaan yang sungguh-sungguh antara bupati (vassal) di daerah-daerah dengan pejabat-pejabat tinggi di ibukota. Sepanjang berkenaan dengan pangkat, gelar dan kehormatan. Sekalipun perbedaan pusat dan daerah di dasarkan dan harus di dasarkan atas perbedaan status politik antara kedua pejabat itu.
Untuk mempertahan kan kekuasaanya atas para bawahannya raja menggunakan kekerasan, bahkan sampai bisa menjatuhkan hukuman mati atas lawan-lawannya beserta keluarganya, atau dengan car memaksa orang-orang terkemuka yang berpengaruh tinggal di kraton untuk jangka waktu lama sedangkan daerahnya disuruh urus oleh wakil mereka masing-masing dan yang terakhir yaitu dengan cara menjalin persekutuan melalui perkawinan
mengenai perbedaan yang sungguh-sungguh antara bupati (vassal) di daerah-daerah dengan pejabat-pejabat tinggi di ibukota. Sepanjang berkenaan dengan pangkat, gelar dan kehormatan. Sekalipun perbedaan pusat dan daerah di dasarkan dan harus di dasarkan atas perbedaan status politik antara kedua pejabat itu.
Untuk mempertahan kan kekuasaanya atas para bawahannya raja menggunakan kekerasan, bahkan sampai bisa menjatuhkan hukuman mati atas lawan-lawannya beserta keluarganya, atau dengan car memaksa orang-orang terkemuka yang berpengaruh tinggal di kraton untuk jangka waktu lama sedangkan daerahnya disuruh urus oleh wakil mereka masing-masing dan yang terakhir yaitu dengan cara menjalin persekutuan melalui perkawinan
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa seorang raja apabila tidak ada rakyat maka kekuasaan yang ada di tangannya tidak akan berguna ibaratkan sekarang kalau ada presiden tapi kalau tidak ada masyarakat akan percuma Dalam pemikiran Jawa konsep kawula gusti ini merupakan sebuah takdir, kepercayaan yang tak tergoyahkan akan nasib ,dalam kata lain kelahiran seseorang di dunia ini tidak bisa mengubah status dari seorang kawulo menjadi gusti, karena status tersebut telah ditakdirkan oleh Tuhan menurut dimana ia dilahirkan. Ketika seseorang itu lahir ditengah-tengah kerejaan atau mempunyai darah raja maka kedudukannya akan menjadi seorang Gusti, tetapi jika orang itu lahir sebagai masyarakat biasa maka keduduklannya tetep cuma sebagai kawula atau hamba . Namun kedua posisi tersebut tetap memiliki hubungan yang erat dan memiliki tingkatan. Dalam posisi sosial masyarakat jawa memiliki hubungan yang unik, terutama terkait dengan hubungan kawulo dan gusti.
Kedua status dalam masyarakat ini memiliki perbedaan-perbedaan, terutama terlihat pada penggunaan pakaian, bahasa sehari-hari- dibedakan menjadi kromo inggil, kromo, madyo, dan ngoko. Jenis-jenis bahasa itu digunakan masyarakat jawa dalam aturan-aturan tersendiri yang telah tertanam dalam diri setiap anggota masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut menurut tingkatan status seseorang dalam masyarakat yang berfungsi pula sebagai penghormatan terhadap yang lebih tua maupun yang lebih muda, bila dilihat pada kondisi masyarakat sekarang. Namun penggunaan tingkatan bahasa tersebut pada masa sekarang tidak lagi banyak diterapkan dalam masyarakat modern yang sedikit lebih banyak meninggalkan budaya-badaya leluhur. Dalam buku ini diceritakan kisah Jaka Tingkir dan Kisah Ki Ageng Pamanahan dari babad Tanah Jawi. Jaka Tingkir yang di takdirkan untuk menjadi seorang raja Pajang,, ketika masih muda diam bersama Ki Ageng Sela. Orang tua yang bijaksana, ia meluhat isyarat kerajaan yang pasti, sinar cahaya yang memancar dari Jaka Tingkir yang sedang tidur. Hal ini sangat menyedihkan Ki Ageng Sela, karena selama hidupnya, dia senantiasa tekun berdoa dan melakukan tapa keras, dengan harapan akan memperoleh karunia Tuhan agar ia sendiri akan menurunkan garis-garis raja. Kehendak Ki Ageng terpenuhi hanyalah karena semadinya.
Selain untuk memperoleh berkat dari dewa-dewa, yang merupakan tujuan semedi pada umumnya, terdapat tujuan yang lebih pokok, lebih mendalam, yaitu untuk mengetahui apa kehendak Tuhan atau dalam kata lain untuk melihat ke masa depan. Konsep kawula gusti ini juga tidak hanya menunjukkan hubungan antara yang tinggi dengan yang rendah, tetapi menunjukkan kesalingtergantungan yang erat antara kawula dan gusti
Dalam buku Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau ini juga menjelaskan tentang Kedudukan Raja dalam kehidupan Negara dan perbandingan antara masa Jawa-Hindu dan masa Mataram II dalam Jawa-Hindu Raja dinggap sebagai dewa keputasan raja dianggap mutlak karena raja dianggap sebagai dewa sedangkan dalam zaman Mataram II mengenai peranan Raja dijelaskan dalam teory Stutterheim tentang patung persemayaman para raja dan ratu Jawa Timur. Sesungguhnya ajaran islam menolak penyamasuaian yang demikian terang-terangan antara manusiaq dengan Tuhan. Teologi islam menempatkan Raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan se agung sebelumnya, yaitu kedudukan kalipatullah, atau dengan kata lain wali Tuhan di dunia. Tetapi penghapusan penyamasuaian raja-dewa oleh islam tidaklah mengurangi tuntutan pokok kekuasaan raja yang menyeluruh dan mutlak atas para kawula. Dengan datangnya islam sebagai agama baru, raja dan bupatinya harus menuntut lagi haknya dalam hierarki keluasaan yang baru dalam persaingan dengan para pembawa agama Islam Di sini raja berperan sebagai perantara antara rakyat dan Tuhan, begitupun sebaliknya. Jadi setiap kehendak raja harus berdasarkan landasan ajaran Tuhan, apabila tidak maka dianggap ingkar. Tugas utama raja adalah menjaga perdamaian jangan sampai ada muncul gangguan dan memulihkan keadaan apabila telah terjadi gangguan.
Di dalam buku ini juga di jelaskan tentang menjadi Raja yang Ideal orang jawa menggap raja yang ideal sebagai seorang raja yang terus menerus mencari tuntutan illahi (dewa) di dalam batin ini . Dalam tuntutan ilahi akan menyatakan dirinya dalam kawicaksanaan raja
Saat menjadi raja hendaklah memiliki sifat wicaksana atau bijaksana. Yaitu suatu sikap yang harus dimiliki oleh diri setiap raja agar disegani para rakyatnya. Bijaksana adalah sikap yang bertanggungjawab terhadap rakyatnya, dapat bersikap adil dalam menyelesaikam suatu permasalahan. Dalam kamus jawa kata wicaksana memiliki arti bijaksana, berpengalaman, tampil, cerdas dan berpandangan jernih. Sikap yang dimiliki raja adalahkewiicaksanaan menyatakan ketrampilam tertinggi dalam memutuskan suatu permasalahan. Sifat lain yang harus dimiliki oleh raja adalah sifat yang tertanam dalam astabrata. Yaitu sifat yang dimiliki oleh dewa-dewa dalam pantheon Hindu. Empat sifat awal adalah keempat mata angin utama dan keempat yang kedua arah mata angin yang terdapat diantara keempat mata angin utama yang berfungsi sebagai pelengkap.
Maka, raja pun seyogyanya memiliki kedelapanan kebajikan ini :
1. Dana yang tidak terbatas “kedermawanan” sifat Batara Endra kepala semua dewa bawahan
2. Kemampuan untuk menekan semua kejahatan, sifat dewa maut, Yama.
3. Berusaha membujuk dengan ramah dan tindakan yang bijaksana, sifat dewa matahari, surya.
4. Kasih saying, sifat Batara Candra/
5. Pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam, sifat dewa angin, Bayu
6. Kedermawanan dalam memberikan harta benda dan hiburan, sifat dewa harta duniawi, Kuwera
7. Kecerdasan yang tajam dan cemerlang dalam menghadapi kesulitan maxam apa pun, sidat dewa lautan, Baruna
8. Keberanian yang berkorban-kobar dan tekad yang bulat dalam melawan setiap musuh, sifat dewa api, brahma
Kedudukan seorang raja dalam masyarakat jawa, seorang raja harus memiliki garis keturunan yang pasti dan baik. Kepercayaan seperti ini sepertinya terpengaruh oleh tradisi Arab, misalnya fulan bin fulan bin fulan dan seterusnya. Maka tidak dapat terelakkan bahwa pembohongan dalam penulisan sejarah keturunan raja-raja adalah suatu yang biasa untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Dalam kepercayaan Hindu keturunan raja adalah keputusan yang telah mendapat persetujuan dari para dewa. Dalam keagamaan, pengetahuan raja dalam hal ini merupakan suatu yang penting. Keaadaan sifat seorang raja adalah cerminan kondisi masyarakat, sebab sifat raja juga meresap dalam masyarakat
Syarat lain yang pokok bagi seorang raja ideal ialah kemampuan nya untuk memilih pegawai-pegawai, peraturan-peraturan untuk itu dikemukakan dalam banyak karangan. Keseimbangan badaniah dan perangai fisik merupakan unsure penting dalam menentukan pilihan.
Dalam bab ini dijelaskan Pengesahan Kedudukan Raja : Pengantin, perebutan Kekuasaan Kultus Kemegahan. Yang terpenting dari sarana spiritual untuk kemegahan r4aja adalah jasa di bidang keagamaan atau kerohanian pada umumnya. Memiliki cirri-ciri, tindak tanduk dan perilaku yang diperlukan oleh seorang raja yang ideal sangat banyak menambah kemegahan seorang raja. Cara yang lain untuk meningkatkan kemegahan raja adalah silsilah raja. Makin banyak silsilah, dan makin panjang silsilahnya, makin besar pula martabat raja. Pikiran orang jawa berusaha menyatukan dua kebudayaan yang berbeda dari agama Hindu dan Islam untuk menegakkan kesinambungan yang dikehendaki, oleh karena itu raja-raja Mataram dibuatkan silsilah Ganda
Yang selanjutnya untuk menyanjung tinggikan raja ialah persekutuan raja dengan apa yang menurut alam kepercayaan asli disebut makhluk halus yang memiliki kekuatan ghaib.Dan Pusaka, usaka dianggap sebagai kekuatan seorang raja arti pentingnya terletak dalam kekuatan ghaib yang ada di dalam pusaka tersebut.
Yang dianggap sebagai kultus kemegahan iakah materi atau kekayaan. Kekayaan mencakup rakyat banyak dan jumlah anggota keluarga yang besar. Banyak sanak member lebih banyak kekuatan dari segi dukungan, dan dalam suatu masyarakat yang di dalamnya hubungan pribadi merupakan unsure pokok dalam kerangka sosial, kaum , kerabat, berkat hubungan darah, merupakan kelompok gubungan dasar, jauh lebih kuat dan jauh lebih erat terjalin dari pada saat sekarang.
Sarana yang terakgir untuk kultus kemegahan raja ialah harta benda. Gambaran utama tentang kekayaan dan kemegahan adalah dengan membayangkan lingkungan raja bagaikan kahyangan, bagaikan Kaendra (persamaan dewa Indra) atau suralaya, persemayangan sang dewa tertinggi, Batara Guru.
Tetapi memetingkan kekayaan juga dianggap sebagai sikap tercela. Walaupun seorang raja, karena kebesaran batinnya, pasti dilimpahi kekayaan, namun kekayaan seperti juga kebijaksanaan, juga harus mengakir dari raja untuk kepentingan siapa yang memerlukan
Yang diperhatikan oleh orang Jawa dengan saksama adalah cara raja menggunakan tanda-tanda kebesaran. Penyalahgunaan kekuasaan dianggap sebagai tanda bahwa kebesarannya menyusut dan keruntuhannya segera tiba dan orang jawa masih membolehkan penindasan berlaku bila mereka menggangap bahwa raja masih dili[puti wahyu karena sama sekali tak ada gunanya untuk membantah pemilik wahyu
Dengan kedudukan raja yang menguasai segalanya dalam kehidupan Negara, birokrasi sebagai pelengkap teknis kedudukan raja harus mencerminkan perhatian utama raja, yaitu pemelihara keselarasan. Kebutuhan ini yang dinamakan sebagai njaga tatatentreming praja (menjaga ketentraman dan ketertiban Negara) menentukan tugas pokok dan terpenting pangreh-praja yaitu memelihara dan menjaga keamanan. Dalam prakteknya ini berarti menjaga setiap kemungkinan gangguan musuh dari luar maupun kejahatan atau ketidakberesan di dalam negri yang dapat mengganggu keseimbangan antara dua lingkungan alam tersebut.
Dalam bab ini juga membahas Organisasi Tekknis Pemerintahan mengenai perbedaan yang sungguh-sungguh antara bupati (vassal) di daerah-daerah dengan pejabat-pejabat tinggi di ibukota. Sepanjang berkenaan dengan pangkat, gelar dan kehormatan. Sekalipun perbedaan pusat dan daerah di dasarkan dan harus di dasarkan atas perbedaan status politik antara kedua pejabat itu.
Untuk mempertahan kan kekuasaanya atas para bawahannya raja menggunakan kekerasan, bahkan sampai bisa menjatuhkan hukuman mati atas lawan-lawannya beserta keluarganya, atau dengan car memaksa orang-orang terkemuka yang berpengaruh tinggal di kraton untuk jangka waktu lama sedangkan daerahnya disuruh urus oleh wakil mereka masing-masing dan yang terakhir yaitu dengan cara menjalin persekutuan melalui perkawinan
mengenai perbedaan yang sungguh-sungguh antara bupati (vassal) di daerah-daerah dengan pejabat-pejabat tinggi di ibukota. Sepanjang berkenaan dengan pangkat, gelar dan kehormatan. Sekalipun perbedaan pusat dan daerah di dasarkan dan harus di dasarkan atas perbedaan status politik antara kedua pejabat itu.
Untuk mempertahan kan kekuasaanya atas para bawahannya raja menggunakan kekerasan, bahkan sampai bisa menjatuhkan hukuman mati atas lawan-lawannya beserta keluarganya, atau dengan car memaksa orang-orang terkemuka yang berpengaruh tinggal di kraton untuk jangka waktu lama sedangkan daerahnya disuruh urus oleh wakil mereka masing-masing dan yang terakhir yaitu dengan cara menjalin persekutuan melalui perkawinan
0 komentar:
Posting Komentar
Kalau udah dibaca mohon sisipkan komentar ea :D
untuk kemajuan blog saya
terimakasih :D