Tanah di dalam masyarakat pedesaan

Posted by Unknown On Senin, 15 April 2013 7 komentar
Tanah di dalam masyarakat pedesaan mempunyai arti yang sangat penting. Bagi masyarakat kususnya petani tanah bukan saja penting dari segi ekonomi, tetapi lebih dari itu bahwa tanah dapat pula dipakai sebagai kriteria terhadap posisi sosisal pemiliknya. Strafikasi social di dalam masyarakat pedesaan erat hubungannya dengan kepemilikan tanah. Di dalam menentukan status social, tanah mmerupakan kriteria untuk menentukan tinggi rendahnya status seseorang. Bagi para petani memiliki tanah adalah sesuatu yang membahagiakan. Alasannya karena petani tersebut beserta keluarganya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari sudah mempunyai sumber penghasilan yang tertentu dan di dalam memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan petani, pemerintah kalurahan akan membawa mereka di dalam forum rilik desa (rapat desa). Dengan demikian mereka akan bangga dengan statusnya itu karena dipandang sebagai wong baku (Soehijanto Padmo, 2000:20).

Bagi kaum tani, tanah adalah bagian dari kehidupan mereka. Dari tanah itu pula kaum tani membangun kehidupan, kemanusiaan dan memenuhi kebutuhan hidup materialnya, bahkan tempat tinggal dibangun diatas tanah juga. Utu sebabnya tanah dianggap penting dan bernilai dibandingkan benda-benda lainnya, bahkan keberadaan tanah dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Karena tanah merupakan sumber daya yang penting, maka pemilik tanah akan sangat berhati-hati dalam menjaga kelangsungan haknya. Apabila amat sangat mendesak, tidak mungkin akan begitu saja melepaskan hak atas tanah tersebut baik dengan cara dijual atau di gadaikan. Apabila keadaannya mendesak atau memaksa lazimnya pemilik tanah masih mencari jalan lain agar tanahnya tidak terlepas dari tangannya untuk selama-lamanya, misalkan dengan sende. Oleh karena itu, apabila dijual oyadan (jual tahunan) ataupun disewakan tidak cukup untuk menutup kebutuhannya, maka jalan yang dianggap paling baik adalah sende. Sende adalah gadai tanah dan jual dengan perjanjian beli kembali, menurut Van Vollenhoven, gadai tanah merupakan suatu perjanjian tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai dengan permufakatan bahwa si penyerah tanah berhak atas kembalinya tanah dengan jalan membayar sejumlah uang yang sama.. Didesa-desa orang yang menggadaikan tanah yang sudah lewat waktunya untuik menebus kembali, seringkali penebusan baru terjadi kalau di kemudian hari orang yang meminjam berhasil mengumpulkan sejumlah uang atau barang yang diperlukan untuk menebus tanahnya, dan pada waktu itu baru memberitahukan kehendaknya untuk menebus kembali tanahnya kepada yang menerima gadai atau pembeli tanah. Kebanyakan permintaan itu tidak akan ditolak karena “ sudah lewat waktunya”. Namun, penerima gadai tidak dapat menuntut kepada pemegang gadai atau penjual untuk menebus kembali terhadap tanah yang digadaikan diluar kesepakatan yang telah diperjanjikan dalam gadai-menggadai itu.

Gadai tanah juga dilakukan oleh seorang petani, pedagang, pamong desa seperti lurah, carik maupun kamitua. Pada masa krisis ekonomi tahun 1930-an, banyak kepala desa dan petani yang terjerumus dalam lilitan hutang, depresi itu menyeret mereka dalam kesulitan keuangan sehingga mereka terpaksa menjual sebagian tanah atau menggandaikannya, meskipun harga tanah sudah jauh menurun.
Kebanyakan semde terjadi karena terlibat utang kemudian menggunakan tanahnya sebagai jaminan. Selama tanah berada dalam penguasaan pembeli sende atau penjual sende tergantung dari kesepakatan dari kewajiban desa atau kewajiban sebagai kuli dilakukan oleh pemilik tanah (penjual sende). Pembeli gadai meliputi orang kaya di desa, yaitu haji, Cina, maupun orang Arab. Tanah yang digadaikan meliputi tanah milik, tanah bengkok, dan rumah pekarangan. Tanah yang digadaikan meliputi tanah rakyat maupun tanag lungguh. Apanila tanah lungguh maka jika ingin menjual gadai disertai dengan jaminan tanak milik atau rumah apabila sewaktu-waktu penjual sende dicopot dari jabatannya maka tanah yangd ijaminkannya menjadi milik pembeli sende.

Kasus sende antara Wiromanaarjo dan Bok Namilah. Konflik ini terjadi antara Wiromanarjo, bertempat tinggal di Desa Butuh, Kecamatan Lendah, Kawedanan Pengasih, Kabupaten kulinprogo, Jogjakarta selaku penggugat melawan bok Ngamilah, bertempat tinggal di Desa Dadirejo, Kexamatan Bagelan, Kawedalan Purwodai, Kabupaten Purworejo, selaku tergugat. Kausu diselesaikan di Pengadilan Poerworedjo. Dipimpin Soepomo, vonis tanggal, 11 Mei 1935. Wiromarjono menyatakan telah membayar sejumlah f.300 kepada bok Ngamilah sebagai uang gadai semula untuk perkarangan. Kemudian Miromanarjo membayat f. 75,- dan menyatakan di depan lurah Den Tjokrosukarto, bahwa dengan itu ingin mengubah perjanjian dari jual gadai (sende) menjadi jual plas, akan tetapo bok Ngamilah menolak untuk mencatat kembali pekarangan yang dipersengketakan atas nama Wiromanarjono di depan lurah. Sejak tinggal di pekarangan, Wiromanarjono dilarang memetik hasil pekarangan, sementara nok Ngamilah menyatakan akan menyerahkan pekarangan kepada Wiromanarjono apabila membayar biaya keseluruhan sebesar f.500,- kepadanya, semula hal ini telah disepakati bersama. Pengadilan menyimpulkan bahwa bok ngamilah belum menyetujui penerimaan uang sebesar f.75,- sebagai suatu penyerahan hak milik pribumi (inlandscge bezitsrecht) atas pekarangan kepada Wiromanarjono. Perjanjian jual beli plas yang dinyatakan oleh Wiromanarjono tidak terjadi. Wiromanarjono mempunyai hak gadai atas pekarangan yang dipersengketakan, karena telah membayar sejumlah uang f.375,- kepada bok Namilah. Namun bok Namilah menghala-halangi atau melarang Wiromanarjono untuk menggunakan hak gadainya. Oleh karena itu Wiromanarjono mendapat hak untuk mengakhiri hubungan gadai. Dan bok Ngamilah dibebani biaya siding dan harus membayar sebesar f. 375,- kepada Wiromarjono. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemegang gadai berwenang mengakhiri berhubungan dengan gadai, ketika pembeli gadai atau penjual gadai menghalang-halangi penggunaan hak gadainya.
Comments
7 Comments

7 komentar:

  1. banyak salah typo.
    mulane keyboard e di kek i huruf, po di ganti anyar wae :p

    BalasHapus
  2. makasih broww
    sering2 berkunjung :p

    BalasHapus
  3. hemm... aku selalu merasa miris bila ada orang yang bertengkar tentang batas tanah... apa yang mereka cari.. -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin karena tanah berperan penting dalam kehidupan mbak :D

      Hapus

Kalau udah dibaca mohon sisipkan komentar ea :D
untuk kemajuan blog saya
terimakasih :D